Karma Kata Mulyono
Garistebal.com- Kata itu seperti burung yang lepas dari sangkar. Sekali
terbang, ia tak lagi milik si pengucap. Ia mendarat di telinga yang curiga,
bersarang di hati yang kecewa, dan kadang menabrak kenyataan hingga remuk
sendiri.
Kita ambil contoh, Jokowi. Sebagai mantan presiden, ia jelas
sangat berpengaruh. Namun belakangan tersiar kabar ia sedang sakit. Memulihkan
diri di kediaman Solo dengan wajah penuh bercak putih dan kulit belang bak peta
hidup.
Sebelumnya, saat menjabat sebagai orang paling berkuasa, ia
pernah mengucapkan sebaris kalimat maha berat.
“Jika saya duduk jadi Presiden dengan hasil
kecurangan-kecurrangan, maka saya dan pendukung saya akan kena azab dari Allah,"
katanya saat itu.
Kalimat itu, entah disengaja atau sekadar desahan dari tubuh
lelah, kini jadi burung yang berkicau liar. Banyak rasan-rasan menyebut Jokowi
sedang menjalani azab yang dimintanya.
Tak hanya itu, ia juga dapat gelar baru. Pembohong terbaik
sepanjang masa.
Benar atau tidak, itu bukan soal yang menarik untuk direnungkan.
Saya tidak memiliki kapasitas membenarkan atau menyakahkan. Tapi saya ingat
ucapan Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf yang hidupnya biasa saja.
"Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa,” kata
Wittgenstein.
Maka, bagi saya akan lebih menggoda untuk mengintip rute
burung itu terbang. Rute kata-kata itu terus hidup di telinga publik yang haus
cerita. Mulut hanyalah alat produksi kata, bukan pengendali.
Jokowi, yang dulu gagah di panggung politik, kini berjuang
dengan penyakit kulit yang muncul pasca-kunjungan ke Vatikan, Mei 2025.
Ajudannya, Syarif Muhammad Fitriansyah, bersikeras itu “hanya alergi biasa,”
bukan sindrom atau penyakit serius.
Jokowi kini wajahnya, penuh bercak putih dan belang. Seakan
menjadi bahasa alam yang membongkar segala belang ucapan dan perilakunya.
“Seperti bedak tak rata,” kata seorang kawan yang berkunjung
ke rumahnya.
Meski demikian, nyatanya Jokowi tetap bersepeda di car free
day, sarapan bersama cucu. Bercak putih serupa panu itu seakan hanya
diperlakukan sebagai aksesori baru.
Banyak yang kemudian berspekulasi bahwa kulit belang itu adalah
azab karena terlalu banyak bohong, dengan korban Asatu negeri.
Kawan lain yang seorang nelayan dan pendukung garis keras
Jokowi menyebut bahwa bercak putih itu mirip sisik ikan kembung, sebuah penanda
perjuangan hidup yang keras.
Baiklah kita ke sequence berikutnya. Bahwa label “pembohong”
itu nyatanya tak datang tiba-tiba. Ia seperti noda yang menumpuk di baju putih,
dibentuk oleh janji-janji dan ucapan asal ngomong. Ingatan publik negeri ini
adalah lupa detail, tapi tak lupa sensasi. Maka kemudian mencatat daftar
panjang kebohongannya.
Pertama, di 2019, Jokowi mengklaim mobil Esemka, merek
otomotif nasional yang dia dukung sejak jadi wali kota Solo, sudah dapat
pesanan 6000 unit. Publik bersorak, membayangkan jalanan dipenuhi mobil buatan
Indonesia. Tapi hingga 2025, Esemka cuma jadi mobil khayalan, seperti janji
tetangga yang bilang mau bayar utang.
Tak ada 6000 unit, tak ada produksi massal, cuma prototipe
yang berdebu di pameran. Jokowi bilang itu proyek swasta yang dia “cuma
dorong,” ucapan itu mendapat sambutan nyinyir, dorong ke mana, kalau ujungnya
jurang?
Kedua, antara 2022 dan 2024, Jokowi mempromosikan Ibu Kota
Nusantara (IKN) dengan klaim bombastis. Ia sebut ribuan investor sudah antre. Ratusan triliun
rupiah katanya siap mengalir ke Kalimantan. Publik membayangkan kota masa depan.
Ternyata laporan resmi menunjukkan investasi asing nol. Proyek
ini akhirnya dibiayai APBN.
Frasa “Ribuan investor” itu seperti tamu undangan yang lupa
alamat. Jokowi tak menjelaskan ke mana mereka pergi, dan publik menempelkan
stiker “pembohong” lagi, kalau antre, kenapa tak ada yang bayar?
Ketiga, di 2014, saat awal jadi presiden, Jokowi berjanji
anak-anaknya tak akan masuk politik.
“Mereka biar fokus pada profesi mereka sendiri,” katanya
dengan nada sederhana.
Beberapa saat kemudian, Gibran jadi wali kota Solo, lalu
wakil presiden. Bobby jadi wali kota Medan, kemudian gubernur Sumut, Kaesang memimpin
PSI setelah jadi anggota kurang dari 48 jam.
Ironinya, publik yang mendengar janji 2014, cuma bisa geleng
kepala. Kalau bukan politik, profesi apa yang dimaksud? CEO istana?
Keempat, polemik ijazah Jokowi, yang bergulir sejak 2012
hingga 2025, jadi amunisi lawan politik. Tuduhan bahwa ijazah SMA dan UGM-nya
palsu. Isu ini tak pernah reda meski dua orang sudah masuk penjara. Bahkan
ketika Bareskrim Polri dan UGM bilang ijazahnya asli, publik tetap tak puas.
Selalu muncul temuan baru yang menunjukkan kejanggalan
otentisitas ijasah itu. Lagi-lagi Jokowi jadi ledekan publik, kalau asli,
kenapa tak selfie bareng ijazah, seperti flexing sertifikat vaksin? Tuduhan
ini, meski tak bikin lebam tapi serupa lebah menyengat.
Kelima, soal utang luar negeri, Jokowi berulang kali antara
2021 dan 2024 bilang utang Indonesia “terkendali,” di bawah batas aman 60% PDB.
Dia memamerkan narasi stabil, seperti pedagang ikan memamerkan ikan segar di
pasar.
Tapi data Bank Indonesia menunjukkan rasio utang luar negeri
ke PDB naik dari 24% di 2020 jadi 28,8% di 2024. Bunga utang mulai membebani
APBN, seperti tamu tak diundang yang makan banyak.
Publik, yang dijanjikan ekonomi kuat, merasa disuguhi narasi
manis bak tempe goreng, tapi baunya mulai busuk.
Pemikir Roland Barthes pernah menyebut bahwa kata adalah
makhluk yang penuh godaan. Janji Jokowi menjelma menjadi harapan, tapi di
tangan publik. Ketika janji tak bisa dipenuhi, ia ditelanjangi dan jadilah kebohongan.
Film Dirty Vote di 2024, yang menuduhnya memanfaatkan dana
negara untuk pilpres, memperkuat label itu. Jokowi membantah, tapi bantahan tak
cukup dan tak bisa diterima publik.
Jokowi lupa bahwa publik tak peduli fakta, mereka suka
cerita. Itulah sebabnya setiap fakta ditampilkan Jokowi, maka publik akan
mengulik cerita di baliknya.
Kini, bercak putih di wajah Jokowi jadi metafora tak sengaja.
Seperti janji yang memudar, kulitnya kini tak lagi mulus di mata rakyat.
Karma kata butuh konteks. Kasus hilirisasi tambang adalah
contohnya. Hilirisasi itu toh hanya menghasilkan Harvey Moeis dan Helena Lim.
Mereka jadi simbol absurditas. Korupsi fantastis, dan cara ketahuannya
sangat simpel, flexing tas Hermès di Instagram.
Nama mereka kini lelucon, seperti ikan kembung yang dipajang
tapi sudah basi. Kata “tambang” yang dulu netral, kini sinonim korupsi. Di Raja
Ampat, Rempang, Trenggalek, Aceh, Morowali dan banyak tempat lain di kawasan
Maluku Utara menjadi simbol kesewenangan yang melekat pada Jokowi.
Filsuf eksistensialis Denmark Soren Kierkegaard pernah
berucap bahwa hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus
dijalani ke depan.
Kini masyarakat lndonesia suka melihat ke belakang,
menertawakan janji Jokowi dan ucapannya tentang azab. Lalu menjalani masa
sekarang dengan menyaksikan bercak putih di wajahnya.
Kulit belangnya ibarat peta hidupnya, penuh liku dan tak
jelas. Lalu berubah jadi spekulasi: azab
atau apes?
Saya termasuk orang yang berharap bahwa Jokowi dengan wajah
penuh bercak, tetap bersepeda. Itu adalah simbol dan hendak berkata, “Saya
masih kuat.”
Namun, sulit mengharapkan ia merendahkan hatinya, mengakui
kesalahannya dan meminta maaf. Maka publik dengan akumulasi kemarahannya akan
tetap menyebut ia sebagai pembohong.
Bercak putih di wajah dan tubuh Jokowi, mungkin bukan azab,
bukan alergi, melainkan cermin retak, bayang-bayang janji yang tak terpenuhi. Wajah
pemimpin yang pernah dipercaya rakyatnya namun karena berbohong maka di mata
rakyat, tak lagi utuh.
Seperti skripsi dengan font terlalu modern, tertulis rapi, tapi tak dipercaya.
1 comment for "Karma Kata Mulyono"