Sekolah Rakyat dan Warisan Segregasi Sosial yang Dilanggengkan Negara
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pendidikan bukanlah jalan pembebasan bagi rakyat jajahan. Sekolah-sekolah hanya terbuka bagi segelintir bumiputra yang dianggap “bermanfaat” bagi administrasi kolonial. Sementara mayoritas anak pribumi disediakan ruang belajar tersendiri: Sekolah Rakyat atau Volkschool, pendidikan dasar tiga tahun dengan kurikulum minimalis dan tujuan jelas: menyiapkan tenaga rendahan untuk mendukung mesin kolonial.
GARISTEBAL.COM- Anak-anak Indo-Eropa dan elite pribumi yang beruntung bisa masuk Europeesche Lagere School (ELS), di mana bahasa pengantar adalah bahasa Belanda, dan kurikulumnya setara dengan sekolah dasar di negeri penjajah. Di situ pula lahir “kelas menengah” bumiputra yang kelak menjadi bagian dari struktur birokrasi kolonial. Pendidikan dijadikan alat segregasi sosial: siapa boleh naik kelas, siapa harus tetap di bawah.
Belakangan, muncul wacana dari pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk membentuk sekolah khusus bagi anak-anak miskin. Alasannya: agar mereka mendapat perhatian khusus dan tidak tersisih dari sistem pendidikan. Tapi pertanyaannya, apakah masalah anak miskin dalam pendidikan Indonesia hari ini adalah karena "tidak adanya sekolah khusus" , atau justru karena "negara gagal memastikan semua sekolah menjadi ruang yang setara bagi semua kelas sosial"?
Warisan Pendidikan yang Tak Pernah Rampung
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas menyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah adalah wajib belajar 12 tahun. Kata "wajib" di sini bermakna universal: berlaku bagi semua warga negara, tak peduli miskin atau kaya. Sebagai konsekuensi logis, negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan bermutu dari SD hingga SMA.
Namun kenyataannya tidak semudah itu. Sekolah-sekolah negeri memang tak lagi menarik iuran SPP. Tapi beban biaya masih menumpuk dalam bentuk lain: seragam, buku, fotokopi, transportasi, hingga pungutan-pungutan “sukarela” yang justru memberatkan mereka yang miskin.
Laporan dari SMERU Research Institute tahun 2022 menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan menengah masih sangat bergantung pada status sosial-ekonomi. Anak dari keluarga miskin cenderung hanya mengenyam pendidikan hingga SMP. Mereka yang berhasil menyelesaikan SMA adalah yang mampu mengatasi semua “biaya tersembunyi” itu—biasanya mereka yang punya privilege, bukan mereka yang paling cerdas.
Dalam konteks inilah, wacana sekolah khusus bagi anak miskin mengemuka. Alih-alih memperbaiki ketimpangan dalam sistem pendidikan yang sudah ada, negara justru menciptakan segregasi baru dengan membangun ruang belajar terpisah.
Apakah kita sedang melihat reinkarnasi Volkschool dalam bentuk baru?
Sekolah Khusus: Solusi atau Simtom Kegagalan?
Wacana afirmatif yang memisahkan justru berisiko memperparah segregasi sosial. Dalam logika pendidikan modern, sekolah seharusnya menjadi tempat perjumpaan sosial lintas kelas: anak petani bisa duduk satu bangku dengan anak pengusaha, dan saling belajar dalam kesetaraan.
Menurut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan adalah proses pembebasan, bukan proses domestikasi. Pendidikan yang memisahkan si miskin dari si kaya, sejak dini, akan menanamkan kesadaran palsu bahwa status sosial adalah sesuatu yang tak bisa diubah.
Segregasi macam ini tidak hanya buruk dari sisi etika, tapi juga memperlemah struktur sosial dalam jangka panjang. Ketika anak-anak dari kelompok miskin hanya belajar dan tumbuh bersama sesama miskin, maka mereka kehilangan akses pada jejaring sosial, sumber daya, dan aspirasi yang lebih luas. Mereka hanya disiapkan untuk tetap “di bawah”, sementara sekolah unggulan yang dipenuhi anak-anak kelas menengah dan atas akan tetap mendominasi puncak piramida sosial.
Padahal, jika kita serius ingin menjawab ketimpangan pendidikan, solusinya bukan membangun sistem baru yang memisahkan, tapi memperkuat sistem yang ada dengan memperbaiki distribusi anggaran, pemerataan guru, peningkatan fasilitas sekolah, dan dukungan sosial bagi anak-anak miskin di sekolah reguler.
Dengan kata lain: bukan "sekolah khusus" , tapi dukungan khusus dalam sekolah umum.
Refleksi dari Sejarah
Apa yang terjadi hari ini bukan kebetulan. Gagasan memisahkan anak miskin dari sistem umum adalah refleksi dari sejarah panjang pendidikan Indonesia yang penuh stratifikasi sosial.
Sejak zaman Belanda, pendidikan selalu digunakan sebagai alat untuk memproduksi kelas-kelas sosial. Pasca-kemerdekaan, harapan untuk membangun sistem pendidikan yang merata selalu berbenturan dengan realitas ketimpangan ekonomi dan ketidakseriusan negara dalam menjadikan pendidikan sebagai hak, bukan sekadar fasilitas.
Ketika Orde Baru naik ke tampuk kekuasaan, pendidikan dijadikan alat kontrol sosial-politik, bukan pembebasan. Kurikulum dipusatkan, kritik disingkirkan, dan orientasinya diarahkan untuk mencetak tenaga kerja bagi pasar, bukan warga negara yang kritis.
Reformasi membuka ruang partisipasi lebih luas, tapi neoliberalitas justru menancapkan pengaruhnya: sekolah dipaksa bersaing, orang tua jadi pelanggan, dan pendidikan berubah menjadi komoditas. Ketimpangan justru tumbuh subur di balik jargon-jargon “unggulan” dan “favorit”.
Kini, di masa ketika negara memiliki APBN pendidikan lebih dari 600 triliun, kita justru disuguhi ide-ide yang tampaknya progresif tapi sesungguhnya regresif. Sekolah khusus anak miskin adalah bentuk kegagalan negara dalam menyatukan warga melalui sistem pendidikan yang adil.
Menuju Pendidikan yang Membebaskan
Kita tidak butuh sekolah khusus untuk anak miskin. Kita butuh sistem pendidikan yang sungguh-sungguh menghilangkan hambatan struktural bagi siapa saja untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi.
Yang dibutuhkan anak-anak dari keluarga miskin adalah akses yang adil: sekolah negeri dengan fasilitas memadai, guru yang bersemangat dan adil, makanan bergizi, transportasi aman, hingga dukungan psikososial. Semua itu bisa dilakukan, tanpa harus menciptakan segregasi sosial dalam format baru.
Pendidikan tidak boleh lagi menjadi alat untuk mengatur siapa yang boleh maju dan siapa yang harus tetap di belakang. Jika negara memang berpihak pada rakyat, maka seharusnya setiap anak—tak peduli kaya atau miskin—memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil.
Karena itu, pertanyaannya sekarang bukan apakah kita mau bikin sekolah khusus atau tidak.
Pertanyaannya adalah: apakah kita sungguh-sungguh berniat menghapus ketimpangan itu, atau hanya mencari cara baru untuk merawatnya?
Admin,
Post a Comment for " Sekolah Rakyat dan Warisan Segregasi Sosial yang Dilanggengkan Negara"