The Man Who Sold Himself: Kurt Cobain, Grunge, dan Perlawanan terhadap Kapitalisme Budaya
“Popular music is one of the few spaces where the working class has historically voiced its resistance.” (George Lipsitz)
GARISTEBAL.COM- Tiga dekade setelah kepergiannya, Kurt Cobain tetap menjadi ikon luka kolektif generasi yang merasa asing di rumahnya sendiri.
Saya masih ingat betul: kelas 3 SMA, dan tangan saya memegang kaset Nevermind rilisan lokal—kalau tak salah, distribusi Aquarius. Smells Like Teen Spirit meledak dari speaker compo, dan seketika ada sesuatu yang meledak juga dalam diri saya: semacam perasaan menemukan suara yang mengerti kegelisahan yang belum bisa saya ucapkan sendiri.
Tak lama kemudian, MTV Unplugged in New York menjadi semacam kitab suci kecil bagi kami yang tumbuh bersama noise, distortion, tapi juga sunyi. Saya menonton rekamannya berulang-ulang, dan selalu berhenti pada satu momen: saat Kurt menyanyikan “The Man Who Sold the World” karya David Bowie. Wajahnya redup, suaranya lirih, seolah ia sedang mengabarkan sesuatu yang tidak bisa dituturkan oleh siapa pun kecuali dia.
Grunge bukan genre. Ia adalah gugatan.
Kurt bukan sekadar vokalis Nirvana. Ia adalah suara dari ruang sunyi, yang tidak ingin menjadi juru bicara siapa-siapa, tapi justru menjadi perwakilan dari mereka yang muak terhadap kemunafikan dunia hiburan dan kegilaan sistem.
Ia tidak lahir dari pabrik bintang. Ia lahir dari kehampaan. Dari perceraian orang tua, kecemasan sosial, dan kehilangan yang terus-menerus. Maka ketika Nevermind (1991) mengguncang industri dan menggusur Michael Jackson dari puncak Billboard, Kurt sendiri bingung: kenapa lagu tentang keputusasaan bisa begitu laku?
Dalam catatan pribadinya, ia menulis: “The duty of youth is to challenge corruption.” Kalimat itu cukup mewakili denyut nadi grunge—sebuah gerakan musik yang melawan glamor palsu rock era ’80-an dan menolak dikomodifikasi. Grunge tak peduli pada tata rias, hanya pada kejujuran mentah. “I’d rather be hated for who I am, than loved for who I am not,” kata Kurt suatu kali. Itulah filsafatnya.
Namun ketenaran justru menjebak. “I don’t care what you think unless it is about me,” sindirnya dalam Drain You. Nirvana menjadi sensasi global, dan Kurt merasa ia kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa menjual sesuatu yang seharusnya tidak dijual. Dirinya sendiri.
David Bowie, Lead Belly, dan pengakuan sunyi
Di panggung MTV Unplugged (1993), Kurt tidak memainkan lagu-lagu andalan Nirvana seperti Lithium atau In Bloom. Ia justru memilih karya-karya dari musisi lain—Lead Belly, Meat Puppets, hingga David Bowie. Penampilan paling menyentuh adalah “The Man Who Sold the World”, lagu tentang keterasingan dan identitas ganda.
Bowie sendiri pernah berkata tentang lagu itu: “I guess I wrote it because there was a part of myself that I was looking for.” Dalam versi Kurt, lagu itu terdengar seperti pengakuan: bahwa ia telah menjual dirinya, tapi tak tahu kepada siapa. Ia memainkan lagu itu dengan tatapan kosong, hampir seperti pengakuan terakhir seorang manusia yang tak lagi mengenali bayangannya sendiri.
Bowie kemudian mengaku merasa tersanjung saat tahu lagu itu dipilih: “I was simply blown away when I found out that Kurt Cobain liked my work.”
Melawan budaya klik dan komodifikasi
Hari ini, ketika algoritma menggantikan kurasi, dan “trending” menjadi lebih penting dari kejujuran, Kurt terasa makin relevan. Ia menunjukkan bahwa yang otentik memang tidak selalu nyaman, tapi justru menyentuh yang terdalam dari kemanusiaan kita. Ia menyuarakan bahwa tak semua luka harus disembuhkan. Beberapa cukup didengar.
Kritik terhadap komodifikasi bukan hal baru. George Lipsitz menyebut bahwa musik populer kerap menjadi medium perlawanan kelas pekerja terhadap dominasi budaya arus utama. Simon Frith bahkan mencatat bahwa “authenticity in rock music is often defined by resistance to commercialism.” Cobain memahami itu secara naluriah—dan ia membayar mahal.
Grunge lahir sebagai penolakan terhadap ilusi kebebasan yang dijual industri. Ia berkata bahwa dunia tidak baik-baik saja. Bahwa kemarahan, kegelisahan, dan keasingan adalah bagian sah dari manusia.
Dan dalam dunia yang terus mendorong kita untuk menjual diri dalam bentuk yang bisa diklik dan dibagikan, Cobain adalah alarm: jangan sampai kita kehilangan kendali atas siapa kita, dan pada akhirnya menjadi the man who sold himself.
Bio Penulis:
Denny Septiviant adalah Politisi cum Advokat dan pendiri kantor hukum Shakra, Co., serta pengamat budaya populer. Ia tumbuh bersama musik kaset dan gelombang grunge awal 1990-an, dan percaya bahwa seni, musik, dan hukum bisa menjadi alat pembebasan dalam masyarakat yang makin terjebak pada komodifikasi dan ilusi kebebasan.
Post a Comment for " The Man Who Sold Himself: Kurt Cobain, Grunge, dan Perlawanan terhadap Kapitalisme Budaya"