Jangan Takut UU ITE, Ia Adalah Filsuf Era Digital, Sumber Segala Kebenaran
Salah satu mahakarya hukum di Indonesia adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pembentukan UU ini didasari untuk melindungi warga dari berbagai penipuan berbasis internet.Dengan penuh kasih kemudian disempurnakan oleh UU No. 19 Tahun 2016 dan revisi megah pada Desember 2023.
GARISTEBAL.COM- Kini UU ITE menjelma menjadi filsuf era digital, bijak
virtual yang tidak hanya melindungi transaksi elektronik, namun juga menetapkan
kebenaran tunggal di jagat maya berdasar persepsi penegak hukumnya.
Mari kita sambut UU ITE, sumber segala kebenaran, yang
dengan penuh dedikasi membawa harmoni digital. Jangan pernah menertawakan, menghela
napas, atau sekadar mematikan ponsel untuk menenangkan diri.
Tujuan awal UU ITE begitu luhur, bagaikan visi seorang
filsuf Stoik yang merindukan dunia tanpa penipuan online. Tanpa kiriman email
“warisan dari pangeran Nigeria”, dan tanpa situs belanja yang menjajakan laptop
seharga seribu rupiah.
Pasal 5, yang mengesahkan dokumen elektronik, dan Pasal 13,
yang mengatur transaksi digital, adalah bukti bahwa UU ITE dirancang untuk
menjadikan Indonesia kiblat ekonomi digital dunia.
Penjelasan Umum UU ITE adalah kitab suci teknologi.
Disebutkan bahwa hukum ini bertujuan memberikan rasa aman, keadilan, dan
kepastian hukum bagi semua warga negara. Mengharukan bukan? Siapa yang tidak
terharu oleh visi ini?
Ini seperti puisi yang ditulis oleh seorang coder berjiwa
filsuf, penuh harapan akan dunia maya yang bersih dan teratur.
Akhirnya UU ITE ini berlaku seperti filsuf yang terlalu
larut dalam kontemplasi. Ia kemudian melampaui tugas sederhananya. Dengan
kebijaksanaan yang hanya dimiliinya UU ini berevolusi menjadi penentu kebenaran
mutlak, penjaga moral, dan yang paling
mengagumkan, penutup mulut bagi mereka yang berani bercanda atau mengeluh di
dunia maya.
Pasal 27 ayat (3), misalnya, adalah permata hukum yang
melarang pencemaran nama baik. Betapa cerdas!
Dengan pasal ini, kita bisa memastikan bahwa tidak ada yang
berani mengkritik pelayanan rumah sakit, kinerja pejabat, atau bahkan rasa soto
di warung sebelah tanpa memikirkan ancaman denda miliaran rupiah.
Kasus Prita Mulyasari pada 2009 adalah bukti kehebatan UU
ITE, yang dengan sigap melindungi reputasi sebuah institusi dari email keluhan
pribadi.
Lalu, ada Pasal 28 ayat (2), yang dengan kepekaan seorang
filsuf melarang informasi yang memicu kebencian berdasarkan suku, agama, ras,
dan antargolongan. Pasal ini adalah senjata pamungkas UU ITE, menetapkan bahwa
setiap meme satir, cuitan lucu, atau karikatur yang membuat tersinggung adalah
ancaman bagi harmoni nasional. Menyusun peradaban baru dengan menghilangkan
kebiasaan bercanda antar warga negara.
Terakhir adalah tentang seorang mahasiswi ITB yang ditangkap
dan dijerat dengan UU itu karena memproduksi meme satire Jokowi dan Prabowo
sedang berciuman. Ini bukti kuat bahwa UU ITE selalu waspada.
Sebuah meme, yang mungkin hanya dimaksudkan untuk mengundang
tawa, tiba-tiba menjadi pelanggaran berat. Sungguh, ini adalah kebenaran
digital yang hanya bisa didefinisikan oleh seorang filsuf sejati.
Filsuf Romawi Seneca pernah berkata, “Non est libertas nisi
in veritate”, tidak ada kebebasan kecuali dalam kebenaran. UU ITE memahami
nasihat ini dengan caranya sendiri, menetapkan bahwa kebenaran adalah apa yang
tidak mengganggu ketenangan para penguasa.
Laporan SAFEnet, dari
2013 hingga 2022, menyebut minimal 500 orang dilaporkan menggunakan pasal-pasal
bermasalah UU ITE, dengan mayoritas pelapor adalah pejabat publik (38%) yang
terganggu oleh kritik atau candaan warganet.
Pada 2020 saja, SAFEnet mencatat 84 kasus kriminalisasi,
dengan 64 kasus menggunakan Pasal 27 ayat (3) (pencemaran nama baik, 22 kasus)
dan Pasal 28 ayat (2) (ujaran kebencian, 27 kasus). Pada 2021, jumlah kasus
menurun menjadi 30 kasus dengan 38 korban, namun aktivis (26,3%) dan warga
biasa tetap menjadi sasaran utama.
Pada Pemilu 2024, SAFEnet melaporkan 12 kasus kriminalisasi
terkait pemilu, termasuk 5 kasus berita bohong dan 3 kasus ujaran kebencian.
Berbagai catatan itu menunjukkan bahwa UU ITE tetap setia sebagai penjaga
“kebenaran” politik.
Ketika seseorang dijerat karena meme atau status WhatsApp,
itu bukan represi, melainkan pelajaran filosofis bahwa kebebasan berekspresi
harus diimbangi dengan kemampuan menyewa pengacara mahal.
Penegakan hukum UU ITE adalah pertunjukan komedi filsafat
yang patut mendapat tepuk tangan meriah. Bayangkan polisi siber, jaksa, dan
hakim bekerja bersama, meneliti setiap cuitan dan komentar Instagram dengan
ketelitian seorang filsuf saat membedah naskah kuno. Tidak ada yang lolos dari
kebijaksanaan UU ITE, sumber segala kebenaran.
Kasus Baiq Nuril adalah salah satu babak terbaik dalam drama
ini. Seorang ibu rumah tangga dijerat karena merekam percakapan pelecehan. Ini
bukan penyimpangan, melainkan bukti bahwa UU ITE adalah filsuf yang peduli pada
keseimbangan sosial, memastikan bahwa kebenaran selalu berada di pihak yang
paling keras berteriak dan membiayai teriakannya dengan maintenance canggih,
menyewa buzzer misalnya.
SAFEnet juga mencatat bahwa dari 2016 hingga Oktober 2020,
terdapat 324 kasus UU ITE, dengan 209 orang dijerat Pasal 27 ayat (3)
(pencemaran nama baik) dan 76 orang dijerat Pasal 28 ayat (2) (ujaran
kebencian).
Mayoritas korbannya? Jurnalis, aktivis, dan warga biasa yang
iseng mengkritik atau bercanda. Sungguh, ini adalah kebenaran yang hanya bisa
didefinisikan oleh UU ITE
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa UU ITE telah melenceng
dari tujuan awalnya, yaitu melindungi transaksi elektronik. Mereka menunjukkan
bahwa pasal-pasal seperti Pasal 27 dan Pasal 28 lebih sering digunakan untuk
membungkam kritik daripada menjaga keamanan e-commerce.
Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang seorang filsuf.
Jelas sekali ini bukan penyimpangan, ini adalah transcendensi. UU ITE telah
naik level dari hukum teknologi menjadi penentu kebenaran digital, pengatur
tata cara bercanda, dan pelindung perasaan yang tak ternilai. Ketika seorang
aktivis dijerat karena cuitan, itu bukan pengekangan kebebasan, melainkan
pengingat bahwa di era digital, humor harus melalui panitia sensor terlebih
dahulu.
Seneca juga mengajarkan, “Quid est libertas? Nullius rei
necessitas”. Apa itu kebebasan? Tidak terikat pada kebutuhan apa pun.
Dalam dunia digital, UU ITE mengartikan kebebasan sebagai
kebebasan dari dorongan untuk mengkritik sembarangan. Pasal-pasal UU ITE, yang
oleh SAFEnet disebut “pasal karet” (terutama Pasal 27-29), sebenarnya adalah
pasal elastis, dirancang untuk menyesuaikan diri dengan segala situasi, seperti
jubah seorang filsuf yang cocok untuk setiap musim.
Jika Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 50/PUU-VI/2008
tidak membatalkan Pasal 27 ayat (3), bukankah itu berarti pasal ini adalah
kebenaran abadi?
Kritik bahwa UU ITE menghambat demokrasi digital terlalu
serius. Demokrasi bukan soal bebas bercanda di internet, melainkan soal
harmoni, dan UU ITE memastikan harmoni itu terjaga dengan ancaman pidana yang
membuat kita berpikir dua kali sebelum mengetik.
Ada yang mengeluh bahwa UU ITE bertentangan dengan Pasal 28E
UUD 1945 tentang kebebasan berekspresi. Tapi, mari kita renungkan agar bisa tertawa
bersama.
UU ITE bukanlah pengekang, melainkan pencerah. Dengan
kebijaksanaan seorang filsuf, UU ITE mengajarkan bahwa setiap kata di dunia
maya harus diucapkan dengan penuh kesadaran, atau kita akan dihadiahi tiket ke
ruang sidang.
Ketika seseorang dijerat karena status Facebook, anggaplah
itu sebagai bagian dari pelajaran filsafat digital yang membuat kita semua tertawa.
UU ITE sebagai filsuf era digital tidak hanya melindungi transaksi elektronik,
tetapi juga mengatur tatanan moral, memastikan bahwa kebenaran adalah apa yang
disetujui oleh mereka yang berkuasa.
Ke depan, kita bisa bermimpi tentang masa depan di mana UU
ITE semakin bersinar sebagai filsuf digital. Bayangkan dunia di mana setiap
meme harus disetujui oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, setiap cuitan
dilengkapi disclaimer hukum, dan setiap aplikasi AI dilengkapi sensor otomatis
untuk mematuhi Pasal 27.
Ini bukan distopia, melainkan utopia kebenaran digital. Transaksi
elektronik akan bebas dari penipuan, dan yang lebih penting, tidak ada lagi
meme yang membuat pejabat merengut. Untuk mewujudkan utopia ini, mungkin revisi
UU ITE berikutnya bisa menambahkan pasal tentang “larangan bercanda tanpa izin”
atau “wajib meditasi sebelum posting”. Dan jika ada yang masih mengeluh, kita
bisa mengingatkan mereka bahwa UU ITE adalah hadiah dari DPR tahun 2008, sebuah
kitab kebenaran untuk menjaga Indonesia tetap penuh tawa.
Jadi, mari kita angkat jempol untuk UU ITE, sang filsuf era
digital yang dengan penuh kebijaksanaan menetapkan sumber segala kebenaran.
Setiap kali seseorang dijerat karena cuitan atau meme, ingatlah bahwa ini bukan
penyimpangan, melainkan bukti bahwa UU ITE bekerja keras untuk menjaga kita
tetap tersenyum. Tidak ada yang lebih berharga daripada ketenangan hati, dan UU
ITE adalah pahlawan yang kita terima, meski kadang kita bertanya-tanya apakah
kita benar-benar membutuhkannya. [][][]
Post a Comment for "Jangan Takut UU ITE, Ia Adalah Filsuf Era Digital, Sumber Segala Kebenaran "