Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Koperasi Merah Putih dan Ilusi Kemandirian Desa




Ketika negara meluncurkan inisiatif “Koperasi Desa Merah Putih” secara massif di berbagai wilayah, tampak sekilas bahwa negara tengah serius memberdayakan ekonomi rakyat. Namun di balik jargon gotong royong, digitalisasi, dan ekonomi kerakyatan, tersimpan persoalan mendasar yang patut dikritisi: apakah ini benar bentuk pemberdayaan desa, atau justru kelanjutan dari pola lama pembangunanisme yang mengamputasi kedaulatan desa?


GARISTEBAL.COM- Sejak disahkannya Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, desa diakui sebagai entitas yang memiliki hak asal-usul (rekognisi) dan otonomi dalam menyelesaikan urusan lokal (subsidiaritas). UU ini menjadi tonggak penting dalam mendekonstruksi sentralisme warisan Orde Baru. Namun, alih-alih memperkuat kedaulatan desa, program seperti Koperasi Merah Putih justru menghadirkan kembali logika intervensi struktural dari atas.


Dalam kacamata sosiologi kritis, ini bukan hal baru. James C. Scott dalam karya terkenalnya, Seeing Like a State (1998), menjelaskan bagaimana negara modern cenderung menyederhanakan kompleksitas lokal menjadi model teknokratis yang mudah diawasi dan dikontrol. Program seperti Koperasi Merah Putih, yang digagas dan dikontrol dari pusat, adalah contoh klasik dari “high-modernist ideology” yang dijalankan tanpa sensitivitas terhadap realitas lokal. Desa tidak lagi dilihat sebagai subjek, melainkan objek proyek pembangunan.


Lebih jauh, inisiatif ini juga mengandung potensi tumpang tindih dan bahkan konflik dengan entitas lokal lain seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Padahal, hingga hari ini, proyek BUMDes sendiri belum tuntas secara kelembagaan maupun konseptual.


Data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 2.757 BUMDes dalam kategori dasar, 4.002 tumbuh, 597 berkembang, dan hanya 178 yang masuk kategori maju. Artinya, mayoritas BUMDes masih berada dalam tahap awal dan belum menunjukkan kinerja optimal.


Kondisi ini diperparah dengan berbagai permasalahan teknis dan sosiologis di lapangan. Salah satu contohnya terjadi di sebuah desa di Jawa Tengah, di mana BUMDes dibentuk untuk mengelola usaha pengolahan limbah pertanian menjadi pupuk organik. Namun, usaha ini tidak berkembang karena masyarakat desa merasa tidak dilibatkan dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes. Pengurus diangkat oleh kepala desa tanpa musyawarah, laporan keuangan tidak transparan, dan akhirnya masyarakat menjauh. Akibatnya, BUMDes tidak berfungsi sebagaimana mestinya.


Studi klasik dari Clifford Geertz dalam Peddler and Princes menggambarkan bagaimana diferensiasi antara sektor ekonomi modern dan tradisional di desa-desa Jawa menunjukkan jurang kekuasaan dan akses modal. Program koperasi seperti ini berisiko memperluas ketimpangan itu jika hanya membangun infrastruktur ekonomi tanpa memperkuat basis sosialnya.


Mempertajam yang disampaikan Geertz di atas, sosiolog pedesaan Indonesia seperti Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, dan Gunawan Wiradi menawarkan kritik yang lebih membumi. Kuntowijoyo, dalam gagasannya tentang strukturalisme transendental, menekankan bahwa perubahan sosial harus bertumpu pada kesadaran kolektif yang lahir dari bawah, bukan proyek negara yang bersifat teknokratik. M. Dawam Rahardjo menekankan pentingnya ekonomi rakyat sebagai basis keadilan distributif yang menempatkan komunitas sebagai aktor utama. Sedangkan Gunawan Wiradi, dalam berbagai analisisnya, secara tegas mengkritik struktur agraria dan dominasi kekuasaan pusat terhadap desa sebagai bentuk eksploitasi terselubung.


Pendekatan ini diperkuat oleh studi-studi Saptari dan Holtzmann, yang menyoroti bahwa pembangunan desa seringkali mengabaikan relasi sosial lokal, termasuk aspek gender, dalam desain program ekonomi.


Dengan demikian, kita bisa membaca proyek Koperasi Merah Putih ini sebagai bagian dari populisme teknokratik: negara ingin terlihat pro-rakyat melalui program ekonomi mikro, namun tetap mempertahankan struktur kendali yang tersentralisasi. Ini sejalan dengan kritik Nancy Fraser tentang “progressive neoliberalism,” di mana simbol-simbol progresif seperti koperasi dan ekonomi rakyat digunakan untuk menutupi mekanisme kontrol yang tetap melayani logika kapitalisme dan negara sentral.


Jika negara sungguh ingin memberdayakan desa, semestinya ruang deliberasi diperluas dan dikembalikan pada masyarakat desa sendiri. Desa diberi keleluasaan untuk menentukan model kelembagaan ekonomi yang paling sesuai dengan konteks sosialnya. Koperasi yang dibangun dari bawah, berakar pada kebutuhan nyata warga, jauh lebih berkelanjutan daripada koperasi hasil proyek nasional.


Akhirnya, kita perlu waspada terhadap kembalinya logika pembangunanisme dalam wujud baru: lebih canggih, lebih digital, lebih nasionalis, tetapi tetap sentralistik. Desa bukan hanya ruang produksi, tetapi juga ruang demokrasi. Jika kedaulatan ekonomi desa kembali direduksi oleh proyek-proyek dari atas, maka cita-cita UU Desa akan tinggal pasal tanpa jiwa.


“Simplifications transform the world in ways that are profoundly alien to the logic of local knowledge,” tulis James Scott. Kutipan ini mengingatkan kita bahwa niat baik negara bisa menjadi bumerang jika tidak mengindahkan suara rakyat desa.


Denny Septiviant, Politisi, Advokat dan analis kebijakan hukum-politik. Pendiri kantor hukum Shakra, Co., aktif menulis isu-isu sosial, demokrasi, dan keadilan dalam blog dan media sosial.

Post a Comment for " Koperasi Merah Putih dan Ilusi Kemandirian Desa"