Buruh Tanpa Serikat, Hak Tanpa Jaminan: May Day di Era Gig Economy
Beberapa tahun terakhir, setiap tanggal 1 Mei saya hanya memantau berita. Tak lagi ikut turun ke jalan. Tapi bukan karena saya lupa sejarah Hari Buruh. Justru karena hari-hari inilah saya banyak merenung: apakah makna May Day masih bertahan di tengah dunia kerja yang berubah cepat dan diam-diam?
GARISTEBAL.COM- Dulu, tuntutan buruh jelas: delapan jam kerja, upah layak, perlindungan sosial. Sekarang? Pekerja datang dan pergi tanpa kontrak. Upah dibayar per order. Tak ada jaminan, tak ada serikat. Mereka disebut freelancer, ojol, kreator digital, atau mitra aplikasi. Nama-nama keren yang menyamarkan satu fakta: mereka bekerja tanpa perlindungan.
Prekariat
Dalam bukunya, Guy Standing menyebut kelompok pekerja baru yang bernama prekariat — gabungan dari “precarious” (serba tidak pasti) dan “proletariat”. Prekariat adalah kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian permanen. Mereka bekerja, tapi tidak memiliki kepastian kerja, perlindungan sosial, atau kekuatan kolektif. Standing menyebut mereka sebagai “kelas tanpa suara dalam sistem politik.”
Saya pernah bertemu seorang kurir pengantar makanan di Semarang. Ia bercerita, dalam sehari bisa mengantar 20 pesanan. Tapi kalau hujan turun atau aplikasi error, penghasilannya langsung anjlok. Ia tak punya BPJS, tak ada THR, dan tentu saja tak tahu serikat buruh itu apa.
Model hubungan kerja semacam ini menjadi lazim. Bukan hanya di sektor transportasi atau logistik. Penulis lepas, guru honorer, dosen kontrak, desainer grafis digital — semua berada di lanskap kerja fleksibel yang miskin jaminan.
Zygmunt Bauman, dalam Liquid Modernity, menulis:
“Pekerjaan, yang dulu menjadi sumber identitas dan stabilitas, kini berubah menjadi permainan kursi musik.”
Ketika musik berhenti — proyek selesai, algoritma berubah, atau rating turun — pekerja didepak tanpa kompensasi.
Masalahnya bukan semata pada sifat kerja yang berubah, tapi pada cara negara dan masyarakat merespons perubahan itu. Banyak regulasi masih berpijak pada relasi kerja klasik: majikan-buruh, pabrik-karyawan. Dalam kerangka itu, pekerja aplikasi adalah “mitra”, bukan buruh. Maka, mereka tidak berhak atas cuti, asuransi, atau pesangon. Hubungan kerja disamarkan menjadi kontrak bisnis, padahal relasi kuasa tetap timpang.
Negara seringkali terlalu cepat menyambut “inovasi” tapi lambat membela keadilan. Kita bisa lihat itu dalam berbagai kebijakan yang katanya pro-investasi, tapi malah melemahkan posisi pekerja. UU Cipta Kerja, misalnya, dipromosikan sebagai terobosan. Tapi bagi banyak buruh, itu justru berarti ketidakpastian yang dilembagakan.
Noam Chomsky mengingatkan:
“Ketika pekerja kehilangan suara, dan modal menguasai segalanya, demokrasi hanyalah kedok.”
Dalam konteks Indonesia, kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya didengar saat kebijakan disusun? Buruh, atau buzzer yang berteriak “jangan ganggu investasi”?
Tantangan Gerakan Buruh
Gerakan buruh menghadapi tantangan besar. Serikat pekerja, yang dulu menjadi mesin kolektif, kini terlihat ketinggalan zaman bagi banyak pekerja muda. Banyak serikat belum adaptif menghadapi dunia kerja digital. Di sisi lain, pekerja di sektor informal dan digital tidak merasa memiliki rumah perjuangan.
Padahal, tantangan hari ini menuntut bentuk solidaritas baru. Kita perlu membayangkan ulang gerakan buruh — bukan sekadar melindungi pekerja pabrik, tapi juga pekerja tanpa kantor, tanpa jam kerja tetap, tanpa gaji bulanan. Kita perlu membentuk “serikat baru” — atau apapun namanya — yang bisa mewakili suara mereka yang selama ini tak terdengar.
Karena ketiadaan serikat berarti ketiadaan daya tawar. Dan tanpa daya tawar, yang tersisa hanyalah nasib.
May Day bukan hanya soal masa lalu. Ini tentang masa depan kerja. Di era gig economy, perlawanan mungkin tidak lagi turun ke jalan, tapi lewat kampanye digital, lewat gugatan hukum, lewat solidaritas lintas platform.
Tapi satu hal tetap: hak kerja yang adil adalah fondasi demokrasi. Kita tidak bisa berbicara tentang negara beradab jika pekerjanya hidup dalam ketidakpastian yang dilegalkan.
Karl Marx pernah berkata, “Proletar tidak punya apa-apa selain rantai yang harus mereka lepaskan.” Hari ini, banyak yang bahkan tidak sadar bahwa mereka terikat.
Maka pada Hari Buruh ini, mari kita bertanya dengan jujur: siapa yang sebenarnya kita rayakan? Dan siapa yang diam-diam sedang kita abaikan?
[Tentang Penulis]
Denny Septiviant, advokat dan analis kebijakan hukum-politik. Pendiri kantor hukum Shakra, Co., aktif menulis isu-isu sosial, demokrasi, dan keadilan dalam blog dan media sosial.
Post a Comment for " Buruh Tanpa Serikat, Hak Tanpa Jaminan: May Day di Era Gig Economy"