Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

80 Tahun Eric 'Slowhand' Clapton dan Perjalanan Bluesnya


 

Jimi Hendrix pernah mengatakan, "Blues is easy to play, but hard to feel." Jika ada musisi yang tidak sekadar memainkan tetapi menginternalisasi esensi blues dengan kedalaman emosional yang otentik, maka Eric Clapton adalah figur utama dalam diskursus ini.


GARISTEBAL.COM- Menapaki usia 80 tahun, Slowhand -julukan si Eric Clapton- terus menelusuri jejak panjang tradisi musik yang telah ia dekonstruksi dan rekonstruksi selama enam dekade kariernya.

Sebagai penggemar rilisan fisik yang mengenal Clapton pertama kali melalui MTV Unplugged (1992) di masa SMA, pengalaman mendengar album ini menjadi titik awal eksplorasi yang lebih luas. Tears in Heaven, dengan lirik yang mengandung elegi personal, dan Before You Accuse Me yang menghidupkan kembali akar-akar Delta Blues, menjadi pintu masuk ke dalam narasi yang lebih luas: siapakah Clapton dalam konteks historis musik blues, dan bagaimana ia menjadi jembatan antara tradisi kulit hitam Amerika dengan audiens global?


Blues sebagai Lokus Identitas Musikal Clapton

Dalam konstruksi musik populer abad ke-20, blues menempati posisi sentral sebagai bentuk ekspresi sosial-politik komunitas Afro-Amerika. Tradisi ini lahir dari spiritual, work songs, dan nyanyian yang menggambarkan penderitaan serta perlawanan dalam sistem sosial yang menindas. Dalam konteks ini, apropriasi blues oleh musisi kulit putih sering kali menjadi diskursus kritis: apakah mereka mereproduksi, mengapropriasi, atau justru merayakan tradisi ini?


Clapton, dalam hal ini, bukan hanya seorang interpreter blues; ia adalah seorang kurator sekaligus advokat musik blues. Dari The Yardbirds hingga Cream, dari Derek and the Dominos hingga karier solonya, Clapton secara konsisten merekontekstualisasi blues dengan pendekatan yang tetap setia pada akar tradisionalnya, sembari mengadaptasi elemen rock dan pop untuk menjangkau audiens yang lebih luas. "Saya tidak memainkan blues karena ingin memanfaatkannya secara komersial. Saya memainkannya karena saya benar-benar jatuh cinta," ujarnya dalam wawancara dengan Rolling Stone.


Sebagai penggemar yang menelusuri jejak Clapton ke belakang, perjalanan ini tidak hanya memperkenalkan saya pada tokoh-tokoh seperti Robert Johnson, Howlin’ Wolf, dan Muddy Waters, tetapi juga menyingkap dimensi filosofi blues: bahwa musik ini bukan hanya tentang melodi dan harmoni, tetapi juga sebuah dialektika emosional antara duka dan harapan.


Diskursus Terbaru: Meanwhile

Di usianya yang ke-80, Clapton masih produktif. Album terbarunya, Meanwhile (2024), menyajikan eksplorasi sonik yang lebih reflektif. Mojo Magazine menyebutnya sebagai "sebuah karya yang menunjukkan perenungan mendalam seorang musisi yang telah melewati berbagai fase kehidupan, tetapi tetap setia pada akar musiknya." Sementara itu, Pitchfork menulis bahwa "jika MTV Unplugged adalah rekaman tentang kehilangan dan penerimaan, maka Meanwhile adalah rekaman tentang rekonsiliasi dan kedamaian diri. Clapton tidak lagi berusaha membuktikan apa pun—ia hanya membiarkan musiknya berbicara."


Secara musikal, Meanwhile mempertahankan karakteristik Clapton yang khas, namun dengan sentuhan yang lebih intim. Still Got the Blues menegaskan kembali relasi eratnya dengan akar blues, sementara track utama Meanwhile menampilkan nuansa jazzy yang mengingatkan kita pada fase eksplorasi Clapton dalam Reptile (2001). Ada keseimbangan antara nostalgia dan evolusi, sebuah kesadaran bahwa musik bukan sekadar rekonstruksi masa lalu, tetapi juga proyeksi tentang bagaimana identitas dapat berkembang seiring waktu.


Blues, Teknologi, dan Kebertahanan Format Fisik

Sebagai seorang penggemar rilisan fisik, pengalaman mendengar Meanwhile dalam format vinyl menawarkan dimensi auditif yang lebih autentik dibandingkan streaming digital. Fenomena ini menarik dalam konteks studi media dan teknologi musik: bagaimana format fisik tetap bertahan sebagai artefak budaya di tengah dominasi platform digital? Vinyl tidak hanya menawarkan kualitas suara yang lebih organik, tetapi juga aspek ritualistik dalam mendengarkan musik—dari membalik sisi piringan hingga membaca liner notes—yang semakin langka dalam era konsumsi musik yang serba instan.


Clapton, dalam usianya yang ke-80, bukan hanya sekadar figur historis dalam dunia musik. Ia adalah penghubung antara generasi, antara tradisi blues Delta Mississippi dengan rock Inggris, antara medium analog dengan era digital. Jika blues adalah bentuk ekspresi yang menolak untuk mati, maka Clapton adalah salah satu penjaga utamanya. Selamat ulang tahun, Slowhand—musikmu akan tetap bergema, melintasi ruang dan waktu. 


(Denny Septiviant - Penikmat Blues)

Post a Comment for " 80 Tahun Eric 'Slowhand' Clapton dan Perjalanan Bluesnya"