Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pagar Laut, Sebuah Hutang Kejujuran

 



GARISTEBAL.COM- Mari belajar dari krisis Yunani. Negeri yang tak kurang orang pintar dan para filsuf serta kisah-kisah ajaran kebaikan, kebijaksanaan itu toh harus bangkrut karena salah kelola.

Krisis Yunani, yang terjadi antara 2009 hingga 2018. Krisis ini dimulai karena kombinasi faktor-faktor internal dan eksternal, termasuk utang negara yang sangat besar, pengelolaan fiskal yang buruk, dan dampak dari krisis finansial global 2007-2008.

Awalnya adalah hutang. Hutang itu dimulai sejak awal 2000-an, Yunani menghadapi pengeluaran negara yang tinggi dan defisit fiskal yang besar. Negara ini berhutang banyak untuk mendanai pengeluaran pemerintah, baik untuk belanja sosial, sektor publik, maupun infrastruktur.

Pintar itu penting, tapi jujur itu mendesak. Inilah yang terjadi di Yunani. Negeri itu ternyata tidak jujur dalam hutang. Jumlah yang sebenarnya ternyata lebih besar dari yang diakui. Negara menyembunyikan hutang ternyata ada tekniknya. Namun, hutang terbesar negara bukan kepada negara tetangga atau pihak lain, tapi kepada rakyat negara itu sendiri.

Amerika Serikat yang merupakan negara besar ternyata juga diancam kebangkrutan karena ketidakjujurannya. Negara-negara ini banyak hutang bukan karena miskin, tapi karena ada yang sangat boros. Untuk mengisi satu perut di negara kaya bisa setara 200 perut di negara miskin. Apakah karena perut mereka terlalu besar? Tidak, kaya miskin sama bentuk perutnya, yang berbeda adalah keinginan.

Keinginan menjadi sumber gaya hidup boros. Tidak ada satupun jenis kekayaan yang bisa melayani keborosan, apalagi jika dasarnya tidak benar-benar kaya, tapi boros! Maka keborosan itu bisa dilayani dengan satu cara: bohong.

Hutang negara memang besar, tapi kebohongan terbesar negara bukan soal besaran utang. Jika hanya berhutang uang, itu sangat teknis dan mudah diselesaikan. Jauh lebih berbahaya dan fundamental adalah hutang yang skalanya tidak bisa dirampungkan hanya dengan uang. Huang informasi misalnya.

Kedudukan informasi dalam hidup seseorang ternyata amat fundamental. Siapapun bisa saja diguyur berbagai fasiltas, tapi ketika ada satu informasi yang disembunyikan, maka ia akan merasa tidak dihargai. Ini bisa berbahaya. Ia akan terus mencari teman, membuat kelompok, dan butuh jalan keluar kalau perlu dengan menumbangkan pemerintah.

Filsuf Amerika, Eric Hoffer pernah menyampaikan bahwa "kita paling keras berbohong terhadap diri sendiri." Tak berlebihan rasanya ketika orang sudah biasa berbohong maka ia akan mencari kawan dan membangun sistem kebohongan sendiri. Memelihara pendengung (buzzer), membentuk kelompok relawan, menghimpun siapapun yang ikhlas menukar kebenaran dan berganti kebohongan dengan imbalan finansial.

Itulah sebabnya negara yang surplus secara ekonomi tapi minus informasi tidak banyak arti. Rakyat tidak cukup diberi makan, tapi juga perlu diberi informasi. Kedudukan roti tidak lebih tinggi dari kebutuhan atas informasi. Tidak mengapa lapar roti, sepanjang tidak lapar informasi. Lapar ditengah kejujuran lebih menguatkan ketimbang kenyang hasil kebohongan.

Maka keberadaan pagar Laut yang nyata, tiba-tiba menjadi rumit untuk mengurainya. Kholid, seorang nelayan dari Banten dengan sangat cerdas menyampaikan bahwa baik buruk pengetahuan dipengaruhi oleh motivasi. Jika bermotif kesementaraan bisa dipastikan pengetahuan itu akan keruh dan hanya akan ada pembenaran. Hal-hal formal menjadi rujukan. Ini jauh dari hakekat kebenaran itu.

Setelah hutang informasi, ada hutang lain yang juga fundamental. Adalah hutang keadilan. Kerugian atas uang tidak sedramatik rugi keadilan. Rugi uang mudah dilupakan, tapi rugi keadilan akan berbuntut panjang. Orang yang mengikrarkan “saya dizalimi” adalah pihak yang sudah merasa di puncak penderitaan dan siap mengibarkan bendera perang.

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini memang luar biasa. Ia kini sedang menanggung hutang paket komplit.

Mulai dari soal uang, informasi, dan keadilan. Barangkali ini dianggap tak berbahaya, tapi sejarah nanti yang akan mencatat.

Post a Comment for "Pagar Laut, Sebuah Hutang Kejujuran"