Wayang Orang: Jejak Tradisi di Tengah Modernitas
Ditengah gempuran disrupsi teknologi dan arus jaman yang berubah cepat, sejumlah kesenian tradisional masih eksis bertahan. Seperti Wayang Orang (WO) misalnya, tercatat tiga kelompok masih hidup dan mempertahankan eksistensi dengan pentas rutin, mereka: WO Bharata (Jakarta), WO Sriwedari (Solo) dan WO Ngesti Pandowo (Semarang)
GARISTEBAL.COM- Agak berbeda pentas Wayang orang Ngesti Pandowo malam ini (07/12) dibanding sabtu malam 3 bulan lalu. Untuk berpindah pemain, dari satu adegan ke adegan lain, mereka terpaksa harus berpindah manual, lewat pintu belakang, di belakang panggung teater terbuka, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang.
Situasi panggung darurat tak seperti biasa mereka berpentas di gedung Ki Narto Sabdho. Secara estetis mereka masih menghormati pakem penonton, tidak mengganti adegan didepan penonton. Praktis, malam itu, kita jumpai pemain wayang dengan sejumlah kostum, Werkudara, Janoko, Buto cakil, hingga Anoman, sibuk mengitari bangunan, sesuai tenggat waktu para tokoh itu tampil. Demi sempurnanya penampilan pentas wayang orang Ngesti Pandowo yang berujung kepuasan penonton tentunya.
Kesibukan tambahan ini terjadi, sebab Gedung Ki Narto Sabdho sedang mengalami renovasi total. Yang menuntut pilihan manajemen, menghentikan pentas rutin Ngesti Pandowo tiap Sabtu malam, atau tetap berjalan tapi di panggung darurat. "Kira-kira selesai awal tahun -lah, Januari atau Februari,"ujar Adhitia, Ketua Dewan Kesenian Semarang. Desakan para aktivis seni membuat Manajemen Ngesti Pandowo tetap berpentas, meski dalam kondisi darurat.
***
Ngesti Pandowo, adalah jejak lama wayang orang yang masih bertahan di Semarang. Di balik gemerlap panggung dan alunan gamelan yang mengiringi, Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo berdiri sebagai simbol perjalanan seni tradisional yang terus bertahan di tengah gempuran zaman.
Kisahnya bermula pada 1 Juli 1937 di Madiun, saat Ki Sastro Sabdo, dengan dukungan empat koleganya—Ki Narto Sabdo, Ki Darso Sabdo, Ki Kusni, dan Ki Sastro Soedirjo—memulai langkah untuk menghidupkan kembali seni Wayang Orang di luar keraton. Mereka membawa seni tradisi ini keluar dari ruang eksklusif, menjadikannya pertunjukan panggung yang dapat dinikmati berbagai kalangan, mulai dari pribumi hingga non-pribumi seperti masyarakat Tionghoa dan Belanda.
Awalnya, Ngesti Pandowo dikenal sebagai kelompok wayang orang klobot karena sering berpindah-pindah tempat, dari pasar malam di Madiun, Surabaya, hingga Malang. Namun, situasi genting akibat perjuangan kemerdekaan memaksa mereka berhenti sejenak antara tahun 1945 hingga 1950. Selepas itu, mereka pindah ke Semarang dan mulai menetap di Pasar Malam Stadion Diponegoro. Di sinilah perjalanan mereka mulai menemukan bentuk yang lebih kokoh.
Pada tahun 1954, atas undangan Wali Kota Semarang Hadi Subeno Sastrowardoyo, Ngesti Pandowo menetap di Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Masa ini adalah puncak kejayaan mereka, terutama pada 1960-an di bawah kepemimpinan Ki Sastro Sabdo dan Ki Narto Sabdo. Teknologi panggung mereka menjadi acuan, dan mereka mendapat kehormatan tampil di Istana Negara atas undangan Presiden Sukarno, sekaligus menerima penghargaan Wijayakusuma pada tahun 1962.
Namun, gemerlap itu tak bertahan selamanya. Pada 1994, Ngesti Pandowo harus berpindah ke Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Meski kini tanpa dukungan dana pemerintah, mereka terus menjaga api tradisi dengan semangat gotong royong, hasil penjualan tiket, dan undangan acara. Pementasan rutin setiap Sabtu malam di Gedung Ki Narto Sabdo menjadi upaya menjaga seni ini tetap hidup.
Tidak hanya Ngesti Pandowo, dua kelompok wayang orang lainnya juga bertahan menghadapi tantangan zaman. Wayang Orang Sriwedari di Surakarta adalah kelompok tertua, berdiri sejak 1911 dan tetap eksis di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Mereka diuntungkan oleh dukungan budaya lokal yang kuat serta perhatian pemerintah setempat yang menjadikan mereka ikon pariwisata Surakarta. Pementasan mereka, yang berlangsung setiap Selasa hingga Sabtu, menjadi daya tarik lintas generasi.
Di Jakarta, Wayang Orang Bharata tetap berdiri tegak meski berada di tengah modernitas Ibu Kota. Berdiri sejak 1962 di Gedung Bharata Purwa, Senen, kelompok ini menghadirkan pementasan berbahasa Jawa dengan running text untuk menjembatani pemahaman penonton. Semangat mereka untuk mempertahankan seni tradisi terus menyala meski berada di lingkungan yang lebih menantang secara kultural.
Tiga kelompok ini menunjukkan bahwa meski berbeda kota dan dukungan, Wayang Orang tetap menjadi napas budaya yang tak lekang oleh waktu. Tantangan finansial, regenerasi, dan perubahan zaman tidak memadamkan semangat para pelakonnya untuk terus berkarya. Dengan cinta pada tradisi, mereka menghubungkan masa lalu yang penuh hikmah dengan masa kini yang serba cepat. Anda belum benar-benar mencintai budaya tradisional Indonesia jika belum menyaksikan keindahan panggung mereka.
Penulis: Ardiyansyah
dari berbagai sumber
Post a Comment for " Wayang Orang: Jejak Tradisi di Tengah Modernitas"