Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NOMINATOR FFI 2024 "Koes Plus Bom Grupo Musica"

 


 Memperkaya khasanah dokumentasi kisah Band legendaris yang tak ada tandingnya ini. Kini dituangkan oleh Yok Koeswoyo, dalam sebuah film dokumenter berjudul "Koesroyo: The Last Man Standing".


Garistebal.com"KOES PLUS Bom Grupo Musica. Viva Presidente Soeharto". Koes Plus berangkat ke Timor Leste (Timor Portugis 1974) menemui penggemar dan mendapat sambutan hangat di sana. 

    Sambil menggedor-gedor mobil yang ditumpangi: Yok Koeswoyo, Yon Koeswoyo, Tonny Koeswoyo, dan Murry,  penggemar berteriak-teriak sekali lagi.  Kata-kata itu, muncul berulang-ulang.  Baik di 'hall', atau ketika kembali ke Hotel Turismo (Dili).

     "Koes Plus Bom Grupo de Musica. Viva Presidente Soeharto". Koes Plus Group musik yang bagus, hidup Presiden Soeharto. Begitulah cerita "The Last Man Standing", Yok Koeswoyo (Koesroyo). Satu-satunya personel Koes Plus, maupun Koes Bersaudara yang masih hidup.

     Yok Koeswoyo yang lebih dulu meninggalkan "panggung" saat Koes Plus masih aktif (1994), adalah saksi hidup. Saksi yang bisa menceritakan pahit-getir bermusik, ketika gonjang-gonjing politik ikut menyasar ke mereka.

    Saat Presiden RI, Bung Karno berkunjung ke Amerika Serikat (AS) bertemu Presiden John F. Kennedy (24 April 1961). Proklamator ini sempat bertemu dengan penyanyi sohor Elvis Presley, yang tengah syuting film "Blue Hawaii". 

    Namun kemudian, rezim Orde Lama, justru mengecam musik ala Barat. Quo Vadis!

    Koes Plus sangat mengagumi Bung Karno, terutama Yok Koeswoyo. Karena itu, ketika empat beradik: Yok Koeswoyo, Tonny Koeswoyo, Nomo Koeswoyo, dan Yon Koeswoyo ditangkap (ditahan) Juni 1965. Publik ketika itu terheran-heran. Apa salah mereka?

      Muncul kemudian "declared" dari Pemerintah 'Orla', empat beradik Koes Bersaudara ini dianggap bersalah. Telah menyanyikan lagu-lagu cengeng, dianggap melemahkan semangat revolusioner bangsa. Musik Barat yang "ngak-ngik-ngok, tidak boleh. Memupus spirit bangsa.

     Kecewanya Yok Koeswoyo bersama kakak-kakaknya, kemudian dia tuangkan dalam beberapa buah lagu, seperti: "To The So Called The Guilties", "Di Dalam Bui", "Lihat Jendelaku", dll.

      Hampir tiga bulan mendekam dalam "terali dingin" Penjara Glodok: Yok Koeswoyo, mendiang Tonny Koeswoyo, mendiang Yon Koeswoyo, dan mendiang Nomo Koeswoyo dibebaskan 29 September 1965. Atau sehari sebelum meletusnya G30 S PKI.

      Perjalanan Koes Bersaudara (1962-1968), dan Koes Plus (1969-2018), bukanlah perjalanan "kaleng-kaleng". Koes Plus yang lahir ketika anggota 'klan' Koeswoyo ingin fokus ke bisnis (Nomo Koeswoyo), mengubah haluan 'kapal', ke histori berdeviasi (berbelok).

      Masuknya Murry menggantikan Nomo, mengubah nama Koes Bersaudara, menjadi Koes Plus. Lalu, berbagai pernak pernik terjadi seperti, Yok Koeswoyo menolak Murry (di luar keluarga). Hingga kemarahan itu berbuntut Yok mundur dari group (sebentar). Kembali masuk setelah diberi pengertian sang kakak, Tonny Koeswoyo.

     Memperkaya khasanah dokumentasi kisah Band legendaris yang tak ada tandingnya ini. Kini dituangkan oleh Yok Koeswoyo, dalam sebuah film dokumenter berjudul "Koesroyo: The Last Man Standing".

     Film dokumenter Biografi ini, terpilih dalam seleksi akhir nominasi lima (5) film dokumenter panjang Festival Film Indonesia (FFI) 2024. "Koesroyo: The Last Man Standing", di-sutradarai oleh Linda Ochy, dan Produser: Andhy Pulung.

       Berdurasi 61 menit (sekitar 1 jam), film ini mengisahkan tentang Koesroyo Koeswoyo (Yok Koeswoyo). Mulai dari masa kanak-kanak di Tuban (Jawa Timur), hingga terbentuknya Koes Plus yang melambungkan namanya, bersama keluarga besar 'Klan' Koeswoyo lainnya.

        Banyak cerita lain yang sejatinya lebih dari 50 tahun bermusik, akan dipadatkan dalam waktu 61 menit. Mulai dari memiliki dua putra-putri Sari Louise Herning Hapsari (Sari Yok Koeswoyo, politisi PDIP), dan mendiang Rangga Panji (Angga Koeswoyo). 

     Tentunya kehilangan isteri yang sangat dicintai Maria Sonya Tulaar (kecelakaan), serta isteri sambung Yok Koeswoyo dari Perancis, Michelle Beguin. Menjadi cerita yang kaya akan nuansa dan khasanah.

    Penggemar dan  pelestari Band Koes Plus yang jumlahnya tidak sedikit di seluruh Indonesia, tentu berharap. "Koesroyo: The Last Man Standing", akan menjuarai lomba FFI 20 November mendatang.

     Empat pesaing Dokumenter Panjang Terbaik, disamping "Koesroyo: The Last Man Standing" adalah:"Ibnu Nurwanto: Sang Kayu", "Terpejam untuk Melihat", "Under The Moonlight" (Nur), dan "The Journey: Angklung Goes To Eropa".

     Satu hal lagi yang juga menarik. "Koesroyo: The Last Man Standing", juga terpilih sebagai film dokumenter yang akan ditayangkan di "LA Femme Film Festival 2024", Los Angeles (AS), 27 Oktober mendatang.

     Yok Koeswoyo (Koesroyo Koeswoyo) adalah "monumen" sejarah musik POP Indonesia yang tersisa. Bersama Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, dan Murry. Mereka, layak dikenang dan dihormati. Dialah "The Last Man Standing".*


Penulis: Sabpri Piliang, Wartawan Senior di Jakarta

Post a Comment for " NOMINATOR FFI 2024 "Koes Plus Bom Grupo Musica""