Menyusuri Jejak Peradaban di Tengah Arus Jaman: Samarkand (2)
"For lust of knowing what should not be known, we take the Golden Road to Samarkand."(James Elroy Flecker, seorang penyair Inggris, dalam puisinya The Golden Journey to Samarkand)
Garistebal.com- Pagi itu, ketika mentari baru saja beranjak dari balik pegunungan Asia Tengah, saya memulai perjalanan dari Bukhara, sebuah kota tua yang dipenuhi kisah-kisah berabad-abad lamanya.
Kota ini, yang dulu menjadi pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan, adalah tempat di mana saya selalu merasakan kedalaman sejarah setiap kali saya menginjakkan kaki di jalanan batunya. Namun hari itu, saya menuju ke Samarkand, sebuah kota yang telah lama memanggil saya untuk berziarah, mencari pengetahuan, dan menapaktilasi jejak para pemimpin besar yang telah membentuk wajah sejarah kawasan ini.
Kereta api “Registan” yang membawa saya melaju menuju Samarkand berangkat dari stasiun Bukhara pada pagi hari bulan Agustus 2024. Udara di dalam kereta terasa sejuk, meskipun di luar angin gurun mulai menyapu padang terbuka yang luas. Kereta ini, seperti penghubung zaman kuno dan modern, meluncur mulus di atas rel yang pernah dibangun pada akhir abad ke-19, saat kekaisaran Rusia memperluas jangkauannya ke Turkestan.
Jendela-jendela besar kereta memberi saya pandangan bebas ke arah cakrawala, di mana dataran Asia Tengah terbentang, begitu lapang dan tak terbatas, seolah menyimpan rahasia waktu yang tak terkatakan.
Sepanjang perjalanan, saya teringat sejarah Samarkand—sebuah kota yang berdiri sebagai persinggahan penting di Jalur Sutra, jalur perdagangan besar yang menghubungkan Timur dan Barat. Dulu, unta-unta karavan melintasi jalur ini membawa rempah-rempah, sutra, dan pengetahuan, melewati Samarkand yang menjadi pusat pertemuan peradaban. Kota ini telah menyaksikan kejayaan Kekaisaran Persia di bawah Cyrus Agung, ketangguhan Alexander Agung, kekuasaan Islam yang dibawa oleh Dinasti Abbasiyah, hingga puncaknya di bawah kekuasaan Timur Lenk, sang penakluk yang menjadikan Samarkand sebagai ibu kota imperium Timuriyah yang agung.
Setibanya di Samarkand menjelang siang hari, langit cerah dengan warna biru yang tajam. Udara terasa hangat, sedikit menyengat, tapi tidak berlebihan. Saya langsung menuju tujuan pertama saya—Makam Imam al-Bukhari. Sebagai seorang penziarah, mengunjungi tempat ini adalah suatu kewajiban, seperti napas yang harus saya ambil untuk menegaskan hubungan saya dengan masa lalu. Imam al-Bukhari, perawi hadis terkenal, dimakamkan di sini, di sebuah kompleks makam yang berada sekitar 12 kilometer dari pusat kota Samarkand, di Khortang. Tempat ini begitu damai. Pohon-pohon yang berusia ratusan tahun berdiri kokoh, memberikan keteduhan bagi para peziarah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Namun sayangnya masih dalam masa pemugaran, jadi hanya bagian-bagian tertentu saja yang boleh dikunjungi.
Makam ini bukan hanya sebuah situs ziarah, tetapi juga simbol betapa Samarkand telah lama menjadi pusat ilmu dan spiritualitas Islam. Saya duduk sejenak dan kemudian menderaskan yasin, tahlil serta doa-doa di depan makam, sembari mengingat bagaimana pada masa mudanya, Imam al-Bukhari menghafal ribuan hadis, berkelana ke berbagai kota besar dunia Islam untuk mengumpulkan dawuh-dawuh Kanjeng Nabi Muhammad yang dikenal dalam kitab monumental “Sahih al-Bukhari”. Kitab babon yang hingga kini masih diajarkan di pesantren-pesantren seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ziarah ini, bagi saya, bukan hanya perjalanan spiritual, melainkan juga perjalanan intelektual, mengenang sosok yang mempersembahkan hidupnya untuk kebenaran.
Dari makam Imam al-Bukhari, saya kembali ke pusat Samarkand, menuju Registan Square—alun-alun yang sejak berabad-abad lamanya menjadi pusat estetika, pendidikan, dan politik kota. Registan, dengan tiga madrasahnya yang megah—Madrasah Ulugbek, Sher-Dor, dan Tilla-Kari—berdiri seperti penjaga waktu. Seketika saya teringat ucapan Ibnu Batutah, penjelajah asal Maroko, yang mengunjungi Samarkand pada abad ke-14, memuji keindahan kota ini dalam catatan perjalanannya,”Rihlah”, "Samarkand adalah salah satu kota terbesar dan terbaik, serta paling sempurna keindahannya."
Saya berdiri di depan madrasah Ulugbek, yang dibangun oleh cucu Timur Lenk, Ulugbek, seorang ilmuwan besar yang sekaligus menjadi penguasa. Di dalamnya, di masa lampau, para mahasiswa mempelajari matematika, astronomi, dan ilmu-ilmu logika. Saya bisa membayangkan Ulugbek sendiri, yang sering kali memberikan kuliah di sini, berbicara tentang pergerakan bintang-bintang, sembari diam-diam melawan dogma-dogma keagamaan yang menghalangi kebebasan berpikir.
Sejarah Samarkand, seperti yang terukir di batu-batu Registan, adalah sejarah tentang pertemuan antara kekuasaan dan pengetahuan. Kota ini pernah dihancurkan oleh pasukan Genghis Khan pada awal abad ke-13, namun di bawah Timur Lenk, ia bangkit kembali sebagai pusat dari sebuah kekaisaran yang mencakup hampir seluruh Asia Tengah hingga Eropa Timur. Timur Lenk, sang penakluk yang disegani sekaligus ditakuti, menjadikan Samarkand sebagai pusat dari kekuasaannya. Di sinilah, saya berziarah ke Gur-Emir, mausoleum yang dibangun untuknya.
Makam Gur-Emir berdiri dengan megah, kubah birunya bersinar di bawah matahari yang semakin terik. Timur Lenk, atau Tamerlane, adalah figur yang rumit—seorang penakluk yang brutal, namun juga seorang pelindung seni dan arsitektur. Di balik kekejamannya, ia meninggalkan warisan budaya yang tiada tara, dan Samarkand adalah permata dari warisan tersebut. Berdiri di depan makamnya, saya membayangkan bagaimana Timur Lenk, yang digambarkan oleh banyak sejarawan sebagai penguasa yang membunuh lima persen populasi dunia pada masanya, juga dengan teliti memerintahkan pembangunan masjid, madrasah, dan taman-taman indah di sekeliling Samarkand.
Petang mulai mendekat ketika saya melanjutkan perjalanan ke makam para ulama lain yang tersebar di sekitar Samarkand. Ada makam Kusam ibn Abbas di Shakhi Zinda, yang dikenal sebagai “Raja yang Hidup”, karena legenda yang mengatakan bahwa setelah meninggal, ia berjalan ke dalam sebuah gua dan terus hidup di sana. Setiap langkah saya di kota ini terasa seperti napak tilas sejarah Islam, dari ulama-ulama besar hingga pahlawan-pahlawan yang berjuang demi iman dan ilmu.
Samarkand, di bawah kekuasaan Uni Soviet, sempat mengalami masa-masa sulit. Identitas Islamnya ditekan, dan banyak situs keagamaan dihancurkan atau diabaikan. Namun setelah kemerdekaan Uzbekistan pada tahun 1991, negara ini mulai kembali merangkul warisan budaya dan keagamaannya yang kaya. Samarkand, sebagai salah satu kota utama di Uzbekistan, telah menjadi simbol kebangkitan ini—sebuah kota yang berdiri tegak, dengan bangunan-bangunan indahnya yang telah dipugar dan dirawat dengan hati-hati.
Perjalanan saya ke Samarkand ini, bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Saya datang sebagai seorang penggemar sejarah, penziarah, dan juga sebagai seseorang yang memahami betapa pentingnya politik dalam membentuk wajah sebuah kota dan bangsa. Samarkand, dalam segala keindahan dan kompleksitasnya, adalah bukti bagaimana sejarah, agama, dan kekuasaan selalu terjalin erat, membentuk cerita-cerita yang akan terus hidup, selama masih ada peziarah seperti saya yang ingin mendengarnya.
Di penghujung hari, ketika matahari mulai terbenam di balik minaret madrasah-madrasah, saya merenung—Samarkand tidak hanya sekadar tempat di peta, tetapi juga sebuah cermin bagi siapa pun yang ingin belajar dari masa lalu, menemukan arti dalam perjalanan, dan merasakan denyut nadi sebuah peradaban yang tak pernah benar-benar mati. Jadi benar apa yang ditulis oleh Robert Byron, seorang penulis dan pengelana Inggris, dalam bukunya The Road to Oxiana, "Samarkand was the heart of the world when half the world’s wealth passed through her gates."
Penulis: Denny Septiviant, Politisi PKB / Travel Photography Enthusiast
Post a Comment for " Menyusuri Jejak Peradaban di Tengah Arus Jaman: Samarkand (2)"