Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puluhan Anak Ikuti Litera Tour “100 Tahun Kematian Sastrawan Franz Kafka” di Boja



Tahun 2024, genap 100 tahun meninggalnya Franz Kafka, sastra kelahiran Praha, 3 Juli 1883. Kafka meninggal pada 3 Juni 1924. Masyarakat sastra dunia terutama di negeri Eropa yang menggunakan bahasa Jerman, memperingatinya dengan pelbagai kegiatan sastra

Garistebal.com- Puluhan anak dan remaja mengikuti Litera Tour “Memperingati 100 Tahun Kematian Sastrawan Franz Kafka (1924-2024)” di Boja. Acara yang digagas Komunitas Lerengmedini (KLM), Pondok Baca Ajar, dan Apresiasi Sastra (Apsas) itu digelar di areal Kebun Sastra Guyub Jl Franz Kafka Dusun Krajan Desa Bebengan Kec Boja Kab Kendal Jawa Tengah, Minggu (29/09).

Acara ini digelar sebagai upaya meningkatkan literasi dan membumikan sastra di kalangan anak-anak dan remaja.  Acara diikuti 30 peserta yang terdiri dari anak usia SD, SMP, dan SMA. Dalam acara tersebut, peserta menyusuri beberapa tempat dengan dipandu Heri Condro Santoso, pegiat sastra di KLM dan Ajar. Anak-anak diajak menyusuri Patung Franz Kafka, Jl Franz Kafka, Gedung Sastra & Sosial Guyub, dan Kali Glagah. Selain itu, peserta juga dikenalkan dengan karya-karya Kafka.

Di Jalan Franz Kafka, peserta menyimak penjelasan mengenai siapa Franz Kafka. Mulai dari kelahiran, orangtua, adik, istri, pekerjaan, proses berkarya, hingga penyebab kematiannya. Heri menjelaskan sembari memperlihatkan foto-foto atau gambar pendukung. Tak hanya di situ, juga ditunjukkan buku-buku karya Kafka, seperti Metamorfosis, dan Surat untuk Ayah. “Adik-adik bisa seperti Kafka, asalkan mau belajar membaca dan menulis,” ujar Heri kepada adik-adik yang antusias mendengarkan. 

Menurut Heri, bukan tanpa alasan atau terkesan semata “membesar-besarkan” Franz Kafka pada momentum 100 tahun kematiannya. Ia melakukan ini karena memang sejak lama bersama adik-adik di tempatnya—sudah menyuntuki karya Kafka melalui kegiatan reading group terjemahan Metamorfosis karya Kafka. Kegiatan dilakukan sejak 2018 hingga 2022. 

“Ya, saya dan adik-adik yang sebagian menjadi peserta kegiatan ini, sudah membaca karya Kafka yang berkutat pada tokoh Gregor Samsa itu sekitar 4 tahun. Membaca hanya 1 minggu sekali karena memang tidak berorientasi agar cepat selesai. Super lelet memang, tapi harapan kami, dinamika yang terjadi selama kegiatan itu menyenangkan bagi adik-adik,” tuturnya.  

Heri menambahkan, tidak hanya sastrawan Kafka yang dikenalkan pada anak-anak. Sastrawan lain di dunia, Indonesia, hingga lokal Kendal juga dikenalkannya pada mereka. “Berat memang membaca karya Kafka, apalagi peserta rata-rata anak-anak SD hingga SMP. Tapi, kami selalu berupaya agar selalu menyenangkan. Dan, poinnya, ini hanya semacam jendela atau pintu masuk anak-anak mengenal karya-karya sastra lainnya, mereka mau menyelami sastrawan lainnya,” harapnya.

Sebelum acara dimulai, puluhan anak-anak diajak membaca buku cerita dan permainan edukatif bersama Akhil Bashiroh (pegiat sastra & guru). Setelah itu, acara diisi dengan baca puisi, membaca salah satu cerpen Kafka dalam Bahasa Jawa, dan membaca petilan novela Metamorfosis karya Franz Kafka yang diterjemahkan Sigit Susanto (Metamorfosa Samsa, Penerbit Baca). 

Puisi bertema kemanusiaan dibaca oleh Naely Kharin Aeny (siswi SMK Tamansiswa Boja). Kemudian, Siraj Lintang (mahasiswa Unnes) membaca cerpen Kafka Sebuah Persilangan dalam bahasa Jawa merujuk pada buku Di Depan Hukum & Cerita Lain Franz Kafka dalam 13 Bahasa Daerah (JBS, 2024). Cerpen Sebuah Persilangan diterjemahkan oleh Sugito Sosrosasmito menjadi Siji Keparo Loro, Mangro Nyatane Mung Siji. Berikut petilannya:

“Aku duwe ingon-ingon, separo cemen, separone cempe. Kewan kuwi asale saka warisan paringane bapakku. Uripe rahayu bareng lan uripku. Wiwitane luwih memper cempe tinimbang cemeng. Nanging suwene suwe banjur setimbang . Endhase endhas kucing. Driji sikile mawa kuku cakar persis kucing. Pawakane ngemba cempe. Gedhene jan pleg cempe. Matane liyep-liyep dan krelip-krelip.”

Peserta yang mayoritas berasal dari SDN 05 Meteseh pun tertawa cekikikan saat mendengar kata-kata dalam bahasa Jawa yang dibaca Siraj. Sebab, anak-anak sudah sangat familiar dengan kata-kata dalam cerpen tersebut, seperti cempe dan cemen. Cempe merupakan anak kambing dan cemen adalah anak kucing. Dan, hampir di rumah mereka orangtuanya memelihara kambing, serta di rumah juga ada kucing.

Usai Siraj turun panggung, acara dilanjutkan dengan membaca petilan novela Metamorfosa Samsa. Pembacaan dilakukan para peserta yang selama ini mengikuti reading group Metamorfosa Samsa di Pondok Baca Ajar Dusun Slamet Meteseh Boja. Mereka yakni Febrina Dwi Wijayanti, Vanila, Nuril Hafia, Velica, Almasyifa Okta, dan Faiq. Mereka didampingi Siraj Lintang, dan Kharin. 

Petilan yang dibaca merupakan beberapa kalimat di ujung novela: “Grete telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan menarik. Mereka  terdiam dan nyaris tanpa sadar berkomunikasi lewat tatapan mata, sama-sama berpikir sudah tiba waktunya mereka mencarikan lelaki yang tepat untuk anak perempuan mereka. Dan, seolah-olah menegaskann mimpi baru dan niat baik mereka, begitu tiba di tempat tujuan, anak perempuan merekalah yang pertama bangkit berdiri dan meregangkan tubuh belianya.”

Usai pembacaan petilan, acara dilanjutkan dengan makan bersama dan ditutup dengan anak-anak diajak menyusuri jalan setapak menuju Kali Glagah. Kali Glagah merupakan kali besar yang mengitari kawasan Dusun Bebengan. Dahulu di tempat anak-anak bermain di antara-batu-batu besar kali itu, pernah terbentang jembatan gantung yang dibangun Belanda. Namun, karena banjir besar dan besarnya biaya perawatan, jembatan rusak, roboh, dan kini hanya menyisakan fondasi tiang pancangnya.

Nuril Hafia, salah satu peserta,  mengaku senang mengikuti kegiatan ini. Selain bisa belajar di kebun, ia juga mulai mengenal profesi sastrawan. Ia ingin bisa pintar menulis. “Pengen nanti bisa menulis seperti Franz Kafka. Dari binatang kecoak yang menjijikan bisa jadi cerita,” ujar siswi kelas 4 SDN 05 Meteseh.

 

Mengapa Kafka?

Tahun 2024, genap 100 tahun meninggalnya Franz Kafka, sastra kelahiran Praha, 3 Juli 1883. Kafka meninggal pada 3 Juni 1924. Masyarakat sastra dunia terutama di negeri Eropa yang menggunakan bahasa Jerman, memperingatinya dengan pelbagai kegiatan sastra. Sebelumnya, beberapa penulis yang dikoordinir Sigit Susanto (penerjemah karya-karya Kafka) juga memperingatinya dengan menerjemahkan 3 cerpen Kafka dalam 13 bahasa daerah di Nusantara. Tiga cerpen Kafka sebelumnya diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia oleh Sigit Susanto, yakni Di Depan Hukum (Vor dem Gesetz), Sebuah Persilangan (Eine Kreuzung), dan Sang Penunggang Ember (Der Kubelreiter).

Mengapa Franz Kafka yang dipilih di tengah banyak alternatif sastrawan kaliber dunia maupun dari Indonesia? Sigit Susanto menjelaskan, gaya penulisan Franz Kafka sangat unik. Kafka tak hanya dinobatkan sebagai salah satu sastrawan paling berpengaruh pada abad 20, tetapi gaya penulisan Kafka menjadi Kafkaesk, yakni sebuah adjektiva baru dalam sastra dunia.

“Bilamana ada karya sastra yang lahir pascamasa Kafka mengandung kerumitan birokrasi, kebuntuan, pesimis, labirin gelap sampai pada kisah horor, maka akan diberi julukan karya itu berciri Kafkaesk,“ kata Sigit dikutip dari Pengantar Di Depan Hukum & Cerita Lain Franz Kafka dalam 13 Bahasa Daerah.

Berangkat dari pertimbangan itu, lanjut Sigit, sudah sewajarnya karya sastra kelas dunia ini tak hanya dihadapkan ke pembaca berbahasa Indonesia, tetapi ke bahasa-bahasa daerah di Indonesia. “Saya tinggal di Swiss sampai sekarang sudah 28 tahun. Saya memperhatikan diskusi sastra bahasa Jerman baik di media, TV dan forum lain bahwa nama Kafka sering disebut dan karyanya dianggap berkualitas tinggi,” ujar moderator milis Apresiasi Sastra ini.

Menurut Sigit, apabila kita membicarakan prosais modern dunia. Pada sastra Inggris, maka James Joyce diianggap mewakili. Pada sastra Prancis, ada sosok Marcel Proust, dan Franz Kafka bisa dianggap mewakili sastra Jerman.  

Penulis: Heri CS, pegiat lereng Medini


Post a Comment for " Puluhan Anak Ikuti Litera Tour “100 Tahun Kematian Sastrawan Franz Kafka” di Boja"