Maulid Nabi Muhammad dalam Puisi Ibnu Arabi: Mengungkap Makna Cinta dan Kenabian
Garistebal.com- Maulid Nabi Muhammad menurut pandangan Ibnu Arabi atau pemilik nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin 'Arabi al-Tha'i al-Hatimi merupakan gambaran sosok Nabi Muhammad Saw.
Ibnu Arabi sangat fokus membahas tentang Nabi Muhammad Saw, seperti dalam kitab Futuhat al-Makkiyah yang fokus membahas konsep metafisika, esoterisme Islam, dan peran kenabian. Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah Ibnu Arabi menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna dari kemanusiaan dan penutup para nabi.
Selain itu dalam kitab Fusus al-Hikam, Ibnu Arabi menyampaikan hikmah-hikmah kenabian yang disampaikan oleh 27 nabi, dengan hikmah terakhir diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Ibnu Arabi menggambarkan Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan manifestasi tertinggi dari hikmah ilahi.
Juga dalam kitab Risalat al-Anwar, Ibnu Arabi membahas tentang penciptaan Nur Muhammad atau cahaya Nabi Muhammad sebelum penciptaan alam semesta yang menjadi sumber keberadaan seluruh makhluk.
Namun, saya akan mengajak untuk menyelami samudera cinta Ibnu Arabi sebagai sosok pecinta dan perindu Nabi Muhammad Saw. Selain kedalaman samudera cinta, juga samudera ilmu yang kedalamannya ditemui para kekasih.
Samudera cinta dan ilmu yang tertuang dalam bait-bait syair karya Ibnu Arabi dalam Diwan Ibnu Arabi atau kitab Tarjuman al-Asywaq sebuah puisi tafsir kerinduan sang pecinta.
Maulid Nabi Muhammad, rindu dan cinta Ibnu Arabi merupakan perayaan kelahiran cahaya kenabian dan cinta ilahi yang terus hidup dalam jiwa umat manusia. Nabi Muhammad tidak hanya sebagai penutup kenabian, tetapi juga pembuka pintu kewalian yang menuntun umat menuju kesempurnaan spiritual.
Dua puisi yang kiranya menjadi sumber inspirasi dan kedalam samudera ilmu dan cinta yang tertuang dalam diwannya yakni Pertama, tentang kenabian.
Ibnu Arabi berkata:
جَاءَ المُبَشِّرُ بِالرِّسَالَةِ يَتْلُو مُلَحَّمًا
فَأَتَى بِهِ خَتْمَ السُّلَالِيَّةِ مُلَهَّمًا
وَإِنَّمَا مِنَ الخُمُسَيْنِ حَظًّا وَأَنْفَرَ
وَرِثْنَا أَنَانَا فِي الكِتَابِ المُنَزَّلِ
Puisi tersebut Ibnu Arabi menggambarkan Khatim an-Nubuwwah (penutup kenabian). Bahwasanyaa Nabi Muhammad Saw pemberi kabar gembira yang membawa risalah kebenaran dan petunjuk bagi umat manusia. Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah wahyu terakhir yang menyempurnakan pesan-pesan ilahi sebelumnya yakni pedoman yang abadi melalui Al-Qur'an dan Sunnah
Kenabiannya menandai akhir dari rangkaian kenabian yang dimulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dan ia terlahir dari garis keturunan yang mulia.
Puisi Ibnu Arabi penuh dengan simbol numerik atau simbolisme spiritual. Ia berbicara tentang akidah, teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah meski dalam konteks ini Ibnu Arabi tidak secara langsung menggunakan istilah yang dipakai dua teologi tersebut.
Menurut Ibnu Arabi bahwa pemahaman tentang sifat-sifat Allah tidak hanya terbatas pada tataran intelektual, tetapi juga harus dialami secara langsung melalui pengalaman spiritual dan pengenalan batin.
Selain itu, konsep metafisik yang dikembangkan Ibnu Arabi yakni al-Haqiqah al-Muhammadiyah atau realitas Muhammad. Menurut Ibnu Arabi al-Haqiqah al-Muhammadiyah adalah makhluk ciptaan Allah dan makhluk yang pertama diciptakan dan dari sinilah segala yang lain diciptakan.
إِنَّهُ كَانَ نُوْرًا حَوْلَ الْعَرْشِ فَقَالَ : يَا جِبْرِيْلُ: أَنَا كُنْتُ ذَلِكَ النُّورَ
“Sesungguhnya dia (Muhammad) dulu adalah cahaya yang ada di sekeliling Arsy. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Jibril, aku dulu adalah cahaya itu.”
Hakikat manusia dalam pandangan Ibnu Arabi menyandarkan pada sosok Nabi Muhammad sebagai al-Haqiqah al-Muhammadiyah. Al-Haqiqah al-Muhammadiyah adalah makhluk yang sempurna, karena pada sisi ontologis merupakan wadah tajalli yang paling sempurna dari surah (citra) Tuhan.
Puisi Ibnu Arabi ditutup dengan (وَرِثْنَا أَنَانَا فِي الكِتَابِ المُنَزَّلِ) berpesan tentang warisannya kepada umat manusia yang tertulis dalam Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup dan panduan spiritual seorang hamba.
Puisi Kedua, tentang kemuliaan Nabi Muhammad Saw.
Ibnu Arabi berkata:
يَا حَبَّذَا المَسْجِدَ مِنْ مَشْهَدٍ
وَجِسْدًا طَيِّبًا مِمَّنْ فِي البَلْدَةِ
صَلَّى عَلَيْهِ اللهُ سَنَّ سَيِّدًا
قَدْ قَرَنَ اللهُ بِاسْمِهِ ذِكْرَهُ
عَشْرِينَ خَمْسَاتٍ وَعَشْرٍ
فَهَذِهِ لِلذِّكْرِ إِلَى المَوْعِدِ
Puisi ini merupakan salah satu dari ungkapan tasawuf Ibnu Arabi yang menyiratkan makna spiritual mendalam, terutama dalam kaitannya dengan Nabi Muhammad Saw dan pentingnya zikir dan sholawat sebagai jalan menuju pencerahan rohani.
Bahwasanya masjid sebagai tempat yang penuh berkah dan spiritualitas. Masjid, dalam pandangan sufi, bukan hanya tempat fisik untuk ibadah, tetapi juga pemandangan batin, yakni tempat di mana hati dan ruh berjumpa dengan Allah.
Makna masjid bukan sebagai tempat fisik untuk ibadah, akan tetapi tempat sujud. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Alaq ayat 19:
وَٱسْجُدْ وَٱقْتَرِب
Artinya: “Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)”. (QS. Al-Alaq: 19).
Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Momentum terdekat seorang hamba dan Tuhannya adalah ketika sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa saat itu,’” (HR. Muslim)
Seorang hamba dalam tubuhnya digambahkan sebagai baladah atau kota yang suci untuk senantiasa bersujud kepada Allah. Jasad dan kesucian batin dan perilaku yang terpuji dari orang-orang yang menjaga hubungan spiritual seorang hamba dengan Allah.
Selanjutnya, Ibnu Arabi berpesan dalam puisinya tentang anjuran untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw, sebab Rasulullah merupakan sosok pemimpin yang mulia atau agung.
Sholawat merupakan perintah yang memiliki kedudukan Istimewa sebab hanya ada satu perintah yang mana Tuhan juga menegakan perintah tersebut yakni bersholawat untuk Nabi Muhammad. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56).
Sungguh bahwasanya Nabi Muhammad dalam tradisi sufi dipandang sebagai hakikat tertinggi dari seluruh penciptaan dan rahmat bagi semesta alam. Oleh karena itu hendaknya hendaknya seorang hamba untuk senantiasa bersholawah.
Sebab Allah telah menyandingkan zikirnya dengan nama-Nya yakni nama Nabi Muhammad telah disandingkan dengan nama Allah melalui zikir. Seperti kalimah syahadat yang menyatukan nama Allah dan Rasul-Nya.
Melalui konsep Al-Haqiqah al-Muhammadiyah, zikir yang menyebutkan nama Nabi Muhammad Saw adalah bagian dari penyatuan ruhani dengan Allah melalui perantara Rasulullah Saw.
Sebagaimana puisi pertama, pada puisi kedua Ibnu Arabi juga memakai simbol numerik. Sungguh Nabi Muhammad merupakan nabi yang terakhir nabi yang ke dua puluh lima.
Puisi tersebut disambung untuk senantiasa membaca sholawat, sebab dengan membaca sholawat akan diberikan pahala sepuluh kali. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim).
Ini tanda frekuensi zikir yang harus dilakukan oleh seorang hamba dalam rangka mencapai kesucian hati.
Bait terakhir puisi Ibnu Arabi ditutup dengan kalimat (فَهَذِهِ لِلذِّكْرِ إِلَى المَوْعِدِ) ini menegaskan bahwa zikir yang dilakukan secara konsisten membawa seseorang kepada waktu perjumpaan dengan Allah, yakni al-maw‘id atau janji yang telah ditentukan.
Oleh karena itu hendaknya seorang hamba untuk senantiasa taqarrub yakni berupaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebab Allah sangat dekat dengan hambanya dibandingkan urat nadi. Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗۖ وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Al-Qaf: 16)
Inilah kedekatan seoarang hamba, namun terkadang hambanya tidak menyadari akan hal itu. Oleh karena itu hendaknya untuk senantiasa bertaqarrub kepada Allah, sebagai bentuk mengenal hakikat wujud Allah dan bermujahadah untuk meningkatkan keimanan.
Sebagai tokoh mistikus, Ibnu Arabi dalam karyanya kerap menekankan konsep cinta Ilahi melalui sosok Nabi Muhamamd Saw. Dalam konteks Maulid, cinta kepada Nabi Muhammad Saw menjadi pusat peringatan ini.
Para pecinta Nabi mengekspresikan cinta mereka dengan sholawat, pujian, dan zikir. Cinta kepada Rasulullah Saw merupakan pintu menuju cinta kepada Allah Swt. Ibnu Arabi mengajarkan bahwa cinta kepada Rasulullah Saw adalah langkah awal menuju cinta kepada Allah, dan Maulid adalah salah satu ekspresi cinta tersebut.
Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw, 12 Rabiul Awal 1446 H/2024 M.
Penulis: Lukni Maulana, Pimpinan Redaksi Barisan.co dan Pegiat Pas
Post a Comment for " Maulid Nabi Muhammad dalam Puisi Ibnu Arabi: Mengungkap Makna Cinta dan Kenabian"