Belajar Dari Jatilan Merapi, Kesetaraan Bukan Hanya Milik Manusia
Kabupaten Magelang memang menjadi surga kesenian rakyat. Disebut kesenian rakyat, karena hidupnya memang dihidupi rakyat. Tak ada tarif khusus untuk mengundang kelompok jatilan ini pentas, meski kolosal.
Garistebal.com- Kidung Wahyu Kalaseba adalah kidung syiar gubahan Wali Songo yang diadaptasi Habib Asyhari Adzomat Khon. Lagu berbahasa Jawa klasik ini sangat mistis.
Rumeksa ingsun laku nista ngayawara (kujaga diriku dari perbuatan nista) / Kelawan mekak hawa, hawa kang dur angkara (dengan mengendalikan hawa, hawa nafsu yang diliputi angkara murka) / Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda (walaupun setan gentayangan selalu membuat gangguan) / Engga pupusing zaman (hingga akhir zaman)
Sepenggal lirik lagu "Kidung Wahyu Kalaseba" mengalun. Serangkaian topeng-topeng kesenian jatilan milik kelompok Catur Turonggo Jati, Desa Jagang Kidul, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, masih berjajar rapi di dinding.
Kidung Wahyu Kalaseba gubahan Habib Asyhari Adzomat Khon belum tuntas berkumandang. Namun, tiba-tiba salah satu topeng tersebut bergerak-gerak. Kidung mistis terus mengalun dan respons topeng juga semakin kuat, diikuti topeng-topeng lain.
Tak perlu diceritakan siapa yang sengaja bermain-main dengan alam berbeda ini. Namun, bisa diapresiasi sebagai upaya silaturahmi para penghuni semesta.
Kabupaten Magelang memang menjadi surga kesenian rakyat. Disebut kesenian rakyat, karena hidupnya memang dihidupi rakyat. Tak ada tarif khusus untuk mengundang kelompok jatilan ini pentas, meski kolosal.
Santosa Thoples, salah satu pegiat kesenian rakyat dari kampung Balemulyo atau Koplak Lor, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang menyebutkan bahwa keberadaan kelompok seni ini cukup menjaga denyut seni tari kolosal di Magelang.
Saya kemudian menunjukkan sebuah video mengenai topeng-topeng yang seakan hidup ini. Santosa merespon dengan tertawa. Menurutnya hal semacam ini wajar dalam kelompok jatilan. Jatilan di sekitar Gunung Merapi memang seni rakyat, tetapi juga dianggap mistis karena melibatkan makhluk lain penghuni semesta.
"Saya meyakini bahwa semesta berisi berbagai makhluk. Ada manusia, binatang, tumbuhan, lelembut, batu, air, tanah dan banyak lagi. Dunia mereka sangat berbeda dengan dunia manusia. Dengan jatilan kami bersama-sama sederjat bersenang-senang bergembira," kata Santosa.
Interaksi dengan dunia dalam dimensi lain ini kemudian menjadi semakin mistis ketika interaksi dengan dunia lelembut atau makhluk halus. Lelembut atau makhluk halus memang ada. Dan mereka bukanlah setan.
"Sering disalahpahami, lelembut dianggap setan. Sehingga ketika ada yang kesurupan, selalu diusir. Lelembut bukanlah setan. Mereka adalah makhluk dari dunia berbeda dimensi. Dimensi itu memiliki berbagai makhluk pula, mulai dari tuyul, buto, wewe, kuntilanak, genderuwo, jin, dan banyak lagi jenisnya," kata Santosa.
Adapun setan, itu serupa energi negatif yang bersifat destruktif, sehingga setan juga ada di dalam setiap makhluk, termasuk binatang dan para lelembut.
"Orang kota menyebut lelembut dengan setan. Ini barangkali beda pemahaman dengan kami," katanya.
Santosa Thoples mengaku, saat mengalami trance, tidak merasakan apa-apa. Yang dirasakan hanyalah bersenang-senang bersama.
"Jadi kami berpesta. Manusia berpesta dengan menari, kemudian direspons penghuni semesta lain yang ikut menari. Karena mereka tak memiliki badan wadag, maka meminjam tubuh kami," kata Santosa.
Namun dijelaskan pula, bahwa kondisi ndadi atau trance itu tak melulu melibatkan makhluk halus atau lelembut. Gerakan menari itu juga diperlakukan sebagai sebuah zikir, sehingga ketika sangat asyik dengan zikirnya, akan terlupa kondisi alam keduniaan.
"Ada tari Sufi yang berputar itu kan juga sambil mulutnya berzikir. Itu enggak pusing juga karena zikir sudah sedemikian merasuk. Ini tak sama, tapi mirip karena zikir kami masih butuh alat bantu berupa gamelan, tetembangan, dan sejenisnya," kata Santosa.
Sebagai pembanding, saya kemudian menghubungi kawan sekolah saya. Namanya Sujarwo berasal dari Dukuh Sengi Kecamatan Dukun. Ia kini tinggal di Tangerang dan menjadi penggerak seni jatilan di rantau.
Menurutnya, semua kesenian bisa menjadi media mendekatkan diri dengan pencipta. Jatilan salah satunya melalui tarian.
Itulah sebabnya Sujarwo dan beberapa diaspora kaki Gunung Merapi di Tangerang mendirikan kelompok Sekti Kridho Budoyo, sebuah kelompok kesenian jatilan.
"Tentu saja kami tetap menjalankan ritual keagamaan kami masing-masing. Namun, tari ini adalah sebuah upaya lain untuk berinteraksi dengan semesta berbeda agar kita bisa memiliki sikap saling menghormati," kata Sujarwo.
Kidung Wahyu Kalaseba sejatinya adalah sebuah kidung untuk mawas diri. Berisi semacam janji kepada diri sendiri untuk menjauhi hal-hal yang merusak, serta yang mengumbar nafsu angkara.
"Makanya dalam kidung itu disebut mekak hawa, hawa kang dur angkara (dengan mengendalikan hawa, hawa nafsu yang diliputi angkara murka). Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda (walaupun setan gentayangan selalu membuat gangguan). Enggo pupusing zaman (hingga akhir zaman)," kata Santosa.
Saat ini banyak pihak yang salah paham dengan menyebutkan bahwa hal-hal yang dilakukan dalam kelompok jatilan hingga trance itu sebagai perbuatan sirik. Namun, ia mengingatkan bahwa interaksi yang dilakukan sebatas untuk saling mengakui, saling menghormati, dan saling peduli atas kehidupan di luar alam manusia.
Jatilan selalu berisi banyak karakter. Misalnya, pasukan berkuda, buto (raksasa), tokoh pewayangan, karakter binatang dan karakter lain yang imajinatif. Karakter-karakter imajinatif itu mewakili adanya kehidupan di luar kehidupan manusia awam.
Perbedaan-perbedaan itu ternyata tetap bisa disatukan oleh musik pengiring atau musik illustrasi. Jatilan masa kini memang berbeda dengan jatilan klasik, ilustrasi musik di beberapa kelompok ditambah dengan alat musik diatonis dan perkusi modern seperti keyboard dan juga drum.
"Tapi lihatlah, karakter-karakter yang berbeda watak itu bisa menyatukan gerak mereka mengikuti ritme musik atau gamelan," kata Jarwo.
Dalam sebuah pertunjukan jatilan, ada babak yang bernama kiprah. Babak ini adalah tarian bebas menyesuaikan dengan karakter yang ada. Sosok buto (raksasa) akan menari dengan berangasan, karakter binatang akan menyesuaikan dengan gerak-gerik binatang.
"Meski memiliki ciri gerak berbeda, mereka disatukan oleh ilustrasi musik, sehingga mereka tidak saling tabrakan. Memang ada semacam drama. Misalnya karakter binatang macan akan selalu mengejar karakter binatang yang menjadi mangsanya. Namun, karena ada kesadaran ruang, mereka malah membentuk suatu harmoni yang bisa menghibur penontonnya," kata Jarwo.
Yang paling penting, dengan menjadi pemain jatilan, sikap-sikap toleran otomatis akan menyatu dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Desa-desa di kaki Gunung Merapi memiliki tradisi muslim yang kuat, tapi mampu menyatu dengan tradisi di luar muslim yang juga hidup.
Semua karakter yang ditarikan secara skenario memang dibuat bermusuhan. Misalnya pasukan berkuda dibuat dua kelompok yang bermusuhan.
Sebagai bahan kontemplasi, dalam sebuah peperangan mereka akan bergantian mengalami kekalahan. Bukan kebenaran selalu menang. Kadang juga kalah meski sementara.
"Yang menang tak boleh jumawa dan merasa hebat, yang kalah tak perlu malu dan rendah diri. Hidup itu berputar. Baik dan jahat itu ada di benak masing-masing orang. Sejauh mana mampu mengelola dan mengubahnya menjadi baik sangka, itu intisari hidup," katanya.
Dalam sebuah seni jatilan Magelang, perbedaan justru lebih kompleks dibanding perbedaan di DPR RI. Bukan hanya kepentingan saja. Jika si DPR RI kepentingan mempengaruhi sikap dan isi kepala mencari pembenaran. Dalam kelompok jatilan, perbedaan itu bahkan sampai berbeda wujud, berbeda dunia.
Penulis: Edhie Prayitno, Jurnalis
Post a Comment for "Belajar Dari Jatilan Merapi, Kesetaraan Bukan Hanya Milik Manusia"