Marjo, si Gila Yang Selalu Dikangeni Warga Kota Muntilan
Garistebal.com- Namanya singkat, Marjo. Pekerjaannya tidak jelas. Ke mana-mana di Muntilan ia selalu mengenakan seragam tentara meskipun bukan tentara. Ia terobsesi dan sangat bangga dengan TNI.
Sehari-hari, Marjo berkeliling dari kampung ke kampung di Kota Muntilan, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Magelang. Marjo tak pernah merugikan siapa pun. Semua warga kota memaklumi tingkahnya. Ya, meskipun Marjo oleh sebagian kalangan dianggap orang gila, ia dicintai warga kota.
Yakin?
Ayo kita lihat.
Suatu saat Marjo melintas di Jalan Sleko dengan sepeda bututnya, tiba-tiba sebuah mobil Kijang Innova warna hitam dengan nomor polisi B 8973 IG berhenti. Pengemudinya seorang ustaz muda, Muhammad Zuhaery MA, pengasuh Pondok Pesantren Al Iman Muntilan.
"Arep neng endi jo? Melu aku wae yuk (Ke mana jo? Ikut saya saja yuk)," kata Ustaz Zuhaery.
"Mau bar ngrewangi mantenan neng Mbaran. Aman kok, Er (Tadi baru saja selesai membantu orang punya hajat di Mbaran. Semua aman kok Er)," jawab Marjo yang memanggil "Er" pada ustaz itu.
Ustadz Ery kemudian meminta Marjo naik ke jok depan. Namun ditolak. Alasannya sepele, tidak mau merepotkan dan lebih suka naik sepeda.
"Pit-e titipke wae. Aku dikancani neng pengajian. Butuh kawalan ki (Sepedanya titipkan saja. Temani aku ke pengajian. Aku butuh pengawalan nih)," kata Ustaz Ery.
Akhirnya mereka berjalan beriringan. Kijang Innova itu mengikuti Marjo mengayuh sepedanya hingga akhirnya bersedia menemani Ustaz Ery ke tempat yang dituju.
Marjo meski dianggap sebagai orang yang tidak waras, ia dicintai sepenuh hati oleh warga kota. Sehari saja tidak kelihatan, warga akan saling bertanya, siapa yang bertemu Marjo.
"Saya kenal Marjo sejak saya SD. Sampai anak saya besar, Marjo masih tetap seperti itu. Menebar senyum, menebar kegembiraan," kata Ustaz Ery bercerita.
Menurutnya, meskipun Marjo dianggap tidak waras, ia adalah guru kehidupan bagi warga Kota Muntilan. Bukan sekadar tentang keikhlasan dan kejujuran yang makin langka, tapi juga guru dalam hal kesetaraan.
Bambang Sustianto, warga Sedayu, menjelaskan pemahaman kesetaraan manusia pada diri Marjo memang mumpuni. Ia merasa setara dengan semua orang, tidak mempedulikan pangkat dan kedudukan.
"Bahkan saking merasa setara, dia kemana-mana selalu ngaku sebagai teman sekolah satu angkatan. Dengan saya ngaku satu angkatan, eh dengan kakak saya juga demikian, hahaha," kata Bambang Sustianto.
Yang disampaikan Bambang Sustianto disetujui Hery Prasetya. Diceritakan, ketika ayahnya masih berdinas, Marjo adalah orang yang selalu setia menemani para polisi berjaga.
"Dia merasa dia adalah orang yang dibutuhkan," kata Hery.
Sementara itu, Cua Hoo Liem, seorang warga Muntilan keturunan Tionghoa, juga mengaku tidak merasa terganggu dengan kehadiran Marjo. Bahkan ketika Marjo datang dengan membawa pisau komando, tak ada rasa takut sedikit pun.
"Marjo mengajari cara mencegah kekerasan, yakni dengan menghormati," kata Cua Hoo Liem yang mengelola sebuah toko roti.
Di mata warga Muntilan, keberadaan Marjo membawa senjata tajam bukanlah ancaman. Mereka sangat mengerti bahwa Marjo butuh legitimasi sebagai manusia, yakni dianggap sebagai tentara.
Eny, warga Desa Pucungrejo, bahkan mengaku berutang budi kepada Marjo. Ketika anaknya belajar baris-berbaris, hanya Marjo yang sempat menemani dan mengajari. Sebab, Eny dan suaminya sibuk bekerja.
Marjo adalah bagian terpenting dari Kota Muntilan. Apa pun yang terjadi di Muntilan, Marjo tahu dan dengan rela hati akan membagikannya kepada warga kota yang ditemuinya. Mulai dari informasi seni budaya, rencana pembangunan jalan, hingga informasi kriminal yang terjadi.
Kearifan di balik kegilaan Marjo
Pertanyaan berikutnya, kenapa Marjo yang notabene orang yang kurang waras justru bisa diterima warga?
Hal itu karena Marjo tak mengenal sekat pergaulan. Dengan siapa pun dia tidak pernah menyakiti. Bahkan, Marjo akan membantu semampunya.
"Misalnya ada orang meninggal, ia akan paling sibuk menyiapkan hal yang tak terpikirkan tuan rumah. Minum dan permen atau roti buat tamu yang takziah misalnya. Dia berani mengambil keputusan," kata Henry.
Tak hanya itu, Marjo juga berteman baik dengan polisi dan tentara. Menurut pengakuannya, seragam-seragam tentara dan pisau komando yang dimilikinya merupakan pemberian seorang komandan yang terbantu tugasnya. Jadi seragam tentara, pisau bayonet yang dimilikinya bukanlah kelas seragam KW. Namun 100% ori meskipun bekas.
Saya pernah berbincang dengan Marjo. Ada pemikiran serius tentang hidup yang menggelitik. Bahwa hidup harus seimbang agar semesta lebih mudah menyesuaikan diri dengan manusia.
"Nek wong pinter kae ngomong manunggaling kawulo-Gusti. Nek aku, wong urip kuwi kudu koyo wong udut. Ora iso kemrungsung, kudu tuma'nina (Kalau orang pintar bilang menyatunya manusia dan penciptanya. Kalau saya bilang, orang hidup harus seperti orang merokok. Enggak bisa buru-buru harus tuma'nina)," kata Marjo.
Marjo kemudian bercerita hidupnya total didedikasikan kepada masyarakat. Ia ingin bermanfaat dengan martabatnya.
"Urip mung wang sinawang. Sing ketoke waras jebul edan...edan bandha, edan wedokan. Sing ketoke edan jebule...tenan. (Hidup itu hanya citraan. Yang terlihat waras ternyata gila. Gila harta, gila wanita. Yang terlihat gila ternyata....beneran)," kata Marjo sambil ngakak.
Begitulah. Ternyata masih ada peradaban suatu kota di mana warganya masih mau belajar kepada orang gila, bahkan mencintainya.
Marjo selalu berbagi kegembiraan. Dengan siapapun ia tersenyum. Ketika orang tak melihat senyumnya, ia masih berbagi kegembiraan dengan perilakunya yang santun dan lucu sehingga memaksa orang untuk gembira.
Jangan heran jika suatu saat nanti di gerbang masuk kota Muntilan akan terpasang baliho besar bergambar Marjo dengan ucapan "Selamat Datang di Kota Muntilan".
Atau, ketika suatu ketika nanti Marjo meninggal akan ada karangan bunga bertebaran di Muntilan dengan ucapan "Marjo I Love You Full !"
1 comment for " Marjo, si Gila Yang Selalu Dikangeni Warga Kota Muntilan"