Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Antara Shakespeare, Monalisa, dan Sartre



Saya berencana menyambangi Toko Buku Shakespeare & Company dan dua kafe tempat Sartre bekerja begitu mendapat undangan menghadiri sidang International Program for Development of Communication

(IPDC) Unesco di kantor pusat Unesco di Paris, Prancis, akhir Juni 2024. Indonesia Wakil Ketua IPDC.

Sehari setelah sidang usai, saya menumpang Grab menuju Shakespeare and Company. Shakespeare and Co. menempati bangunan tua tiga lantai, termasuk basement. Dari ruang di lantai dua, kita bisa memandang sungai Seine dan Gereja Notre-Dame di seberang toko buku. 

Gereja bernilai sejarah itu sedang menjalani renovasi setelah kebakaran besar menimpanya. Saya membaca kisah renovasi Notre-Dame di majalah National Geographic Indonesia.

Shakespeare & Co. toko buku legendaris sehingga  menjadi lokasi tujuan wisata di Paris, Prancis. Banyak pengunjung berfoto di bagian depan toko. Pengunjung tidak diperkenankan mengambil foto di dalam toko buku.

Saya mengenal Shakespeare & Co. ketika membaca buku 'Why We Must Save The Bookstores and How' yang saya beli di satu toko buku seken di Washington DC., Amerika Serikat.  Buku itu membahas Shakespeare & Co. sebagai salah satu toko buku yang bisa bertahan begitu lama.

Shakespeare & Co pertama kali didirikan Sylvia Beach yang berasal dari Princenton, New Jersey, Amerika. Shakespeare & Co. yang terletak di The Rue Dupuytren, Paris, itu membuka pintunya pertama kali pada 19 November 1919. Ketika hendak membuka Shakespeare and Co., Sylvia mengirim telegram berbunyi ‘Opening Bookstore in Paris. Please send money’ kepada ibunya di Princenton. 

Toko buku tutup bersamaan dengan pendudukan Nazi terhadap Paris pada 1941. Pada Agustus 1951, George Whitman yang juga berasal dari Amerika membuka toko buku di 37 rue de la Bucherie dengan nama Shakespeare and Company.

Penggunaan nama Shakespeare and Company atas persetujuan Sylvia Beach. George beberapa kali mengundang Sylvia menghadiri  peluncuran dan diskusi buku, pembacaan puisi atau kegiatan lain di Shakespeare and Company.

Shakespeare and Company lebih dari sekadar toko buku. George Whitman membangun komunitas para penulis hebat, seperti William Baldwin, Jorge Luis Borges, Dave Eggers, di toko bukunya. 

George memberi tempat menginap di toko buku kepada siapa pun. George mensyaratkan mereka bekerja satu sampai dua jam di toko buku, menulis kisah pribadi, dan membaca satu buku per hari. George menyebut mereka tumbleweed. 

George menyebut bisnis buku adalah bisnis kehidupan. Artis Allen Ginsberg dalam wawancara dengan koran International Herald Tribune menyebut George orang suci, hidup tidak untuk apa pun, memberi tempat tinggal kepada siapapun, membantu penyair muda, meski dia sendiri miskin.

Di Shakespeare & Co. saya membeli buku 'God is Dead' karangan Friedrich Nietsche. Tuhan telah mati menjadi ungkapan terkenal filsuf asal Jerman itu. Judul lengkap buku itu 'God is Dead, God Remains Dead and We have Killed Him'. Saya juga membeli buku 'Shakespeare and Company: A History of The Rag & Bone Shop of The Heart' karya Krista Halverson. Buku ini ialah memoar Shakespeare and Company.

Ketika membayar, kasir menawarkan menyetempel buku yang dibeli pengunjung. Stempel berbentuk lingkaran yang di tengahnya terdapat gambar wajah dramawan Inggris William Shakespeare yang dikelilingi  tulisan ‘Independent Bookstore Kilometer Zero Paris.’  Stempel itu menunjukkan buku dibeli di Shakespear & Co., bukan di toko buku lain.

Saya beranjak ke kafe Shakespeare and Co., di samping toko buku. Setelah memesan double expresso, saya membolak-balik halaman kedua buku yang baru saja saya beli.

Dari Shakespeare & Co., saya menuju museum Louvre. Ketika berkunjung bersama keluarga beberapa tahun sebelumnya, kami batal masuk karena antrean mengular serupa antrean orang membeli karcis kereta api menjelang lebaran di zaman analog di Indonesia. 



Kali ini saya rela antre untuk memasuki Lovre yang saya kenal lewat novel dan film The Da Vinci Code. Saya sudah membeli tiket masuknya secara daring. Tujuan utama saya ialah melihat lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci.  Memasuki ruang tempat Monalisa dipanjang, orang antre dan berdesakan berswafoto dengan latar belakang lukisan yang menjadi koleksi favorit Louvre itu. Saya sendiri tidak berkesempatan berswafoto dengan Monalisa. Saya harus puas dengan melihatnya dan mengambil foto lukisan itu dari kejauhan. Kunjungan ke Louvre ini bisa dikatakan semacam bonus karena tidak saya rencanakan sebelumnya.

Keesokan harinya saya menyambangi dua kafe yang sering dikunjungi filsuf eksistensialisme Jean-Paul Sartre, yakni Kafe de Flore dan  Kafe Les Deux. Saya sarapan di Kafe de Flore. Di bagian belakang buku menu Kafe de Flore tertulis para filosuf, artis, politikus, yang pernah mengunjunginya, dalam bahasa Prancis. 

Di antara filsuf, selain Sartre ada Albert Camus, Simone de Beauvoir yang sering mengunjungi kafe ini. Artis yang pernah mengunjungi Kafe de Flore antara lain Brigitta Bardot dan Alain Delon.

Dari kafe De Flores saya melangkah beberapa puluh meter menuju  Kafe Les Deux Magot. Saya memesan kopi di sini. Di dalam kafe terdapat foto-foto para filsuf dan artis yang pernah mengunjungi kafe ini. Saya antara lain menyaksikan foto Sartre dan Simone Beauvoir. Kedua filsuf disebut-sebut sebagai sepasang kekasih.


Penulis: Usman Kansong, Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik, Kementrian Kominfo

Post a Comment for " Antara Shakespeare, Monalisa, dan Sartre"