Menanti Kebijakan Perokok Wajib Menelan Asap Rokok
Merokok adalah aktivitas yang mengandung risiko. So,
peringatan bahaya merokok langsung ditempel di bungkus-bungkus rokok. Bukan
sekadar menakut-nakuti dengan janji menghadirkan aneka penyakit seperti kanker,
penyakit jantung, dan sebagainya. Intimidasi jauh lebih vulgar: MEROKOK
MEMBUNUHMU!
Rokok kini menjadi tersangka penyebab tunggal aneka
penyakit. Apapun sakitnya, apapun penyebab kematiannya, rokok akan selalu
menjadi tersangka.
Faktor lain? Ah hanya kaum perokok saja yang menyebut ada
faktor lain penyebab penyakit.
Mari kita melihat fakta sekeliling. Keluar rumah kita sudah
menghirup polusi dari asap kendaraan bermotor. Kemudian kita juga mengonsumsi
makanan yang mengandung gula berlebih. Aktivitas-aktivitas ini apakah terkait
dengan penyakit jantung, sesak napas, dan penyakit-penyakit lain?
Apapun jawabannya, rokok harus menjadi penyebab tunggal atas
penyakit itu.
Berpikir ini saya kemudian duduk di teras depan. Menyalakan
sebatang rokok dan menghirupnya pelan. Saya berpikir tentang solusi.
Eureka! Solusinya gampang. Jika rokok adalah penyebab
tunggal penyakit, mudah bagi pemerintah untuk menutup pabrik rokok. Mudah pula
bagi pemerintah untuk membuat regulasi bahwa petani tidak boleh menanam
tembakau.
Lha mengubah syarat usia pemimpin aja, usia capres cawapres
lewat MK, usia cagub cawagub lewat MA. Mengapa hal tersebut tidak kunjung
pemerintah lakukan?
Yang pasti karena pemerintah butuh cukai rokok. Hal itu
sudah terbukti dari penerimaan cukai via cukai rokok selalu melampaui target.
Pemerintah untuk menutup pabrik rokok. Bahkan ikut mengampanyekan beli rokok
yang bercukai. Paradoks yang khas negeri ini. Negeri KONOHA (Kingdom Of Nepotism,
Oligarchy and Hidden Ambitions). Ingat cukai rokok adalah dana segar yang
menjadi andalan untuk dikorup.
Saya termasuk yang meyakini bahwa pemerintah tahu bahwa
rokok bukan penyebab tunggal sebuah penyakit, namun enggan untuk mengakuinya.
Pemerintah lebih suka membiarkan isu ini kontinyu dan, yang penting, dana dari cukai rokok tetap mengalir. Toh, pemerintah sebenarnya tahu bahwa pasar Indonesia memang cocok untuk perokok.
Pemerintah tidak pernah jujur untuk persoalan rokok. Apalagi
presidennya, Jokowi. Ketika terpilih pertama kali menjadi presiden, dan ia
didesak untuk menandatangani FCTC, ia menolak. Alasannya, Indonesia punya
kedaulatan masing-masing. Tidak bisa didikte oleh asing.
Tahu-tahu pada 2016, Jokowi justru menaikkan cukai rokok
yang ditotal lebih dari 100%.
Saat Gus Dur menjadi presiden, ia konsisten membela IHT
(Industri Hasil Tembakau). Bahkan berani tidak mengikuti saran MUI yang sempat
mengharamkan rokok.
Rokok murahan saya hisap lagi. Membayangkan hidup di negara
yang pemerintahannya jujur.
Membuat kebijakan kenaikan cukai rokok dengan dalih
butuh cuan. Sebab dalih menurunkan
prevalensi perokok, itu palsu.
Seorang tamu dari Perancis berambut putih tiba-tiba hadindi
depan saya. Di mulutnya terpasang pipa cangklong yang mengepulkan asap. Tak
salah, ini adalah Jacques Derrida. Filsuf posmo kelahiran Aljazair.
Saya manfaatkan benar pertemuan ini untuk mengobrol.
"Begini. Untuk menghabiskan satu batang rokok filter
seperti punya sampeyan, rata-rata butuh 20-25 kali hisapan," kata Derrida.
Saya menyimak karena saya yang mengajak diskusi tentang
rokok ini.
Ia melanjutkan bahwa setiap satu hisapan, biasanya ada jeda
sekitar satu dua menit. Jeda itu untuk menjalani laku.
"Tuma'ninah kalau dalam Islam. Bayangkan saja selama ia
hidup, berapa batang per hari ia merokok. Lalu dikalikan berapa tahun. Jeda
tuma'ninah itulah yang kemudian menuntun menjadi sosok etik," kata
Derrida.
Bersamaan dengan itu, kami sama-sama mengepulkan asap
tembakau bersamaan. Asap bergulung dan menelannya. Hilang.
Asu. Ini khayalan. Saya hanya merutuk.
Soalnya imajinasi semakin liar. Saya kemudian melihat bahwa
banyak pemikir muncul dari kalangan perokok. Sebab perokok itu bukan semacam
speedboat yang melesat cepat di permukaan, melainkan lebih dekat dengan sifat
kapal selam. Ia bergerak pelan namun pasti di kedalaman.
Mereka terbiasa tenang, jernih mencermati setiap hal,
sekaligus punya daya imajinasi tinggi. Einstein, misalnya. Bisa jadi ia
menemukan Teori Relativitas, serta teori bahwa semesta berbentuk melengkung, saat
ia leyeh-leyeh sambil kebal-kebul dengan pipa cangklongnya. Ada juga Sartre,
Albert Camus, Derrida, Sigmund Freud, Agus Salim, Tan Malaka saya yakin semua
menjalani laku tuma’ninah-nya lewat asap tembakau.
Sukarno, Che Guevara, Winston Churcill, hingga John Kennedy.
Atau para sastrawan-pemikir, mulai Rudyard Kipling, Hemingway, Mark Twain,
Pablo Neruda, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, yang kesemua mereka pun
menjalani metode yang sama.
Disinilah bahaya lahirnya para perokok baru. Perokok muda
usia. Sebab yang paling bahaya dari rokok adalah memfasilitasi
pikiran-pikirannya.
Sampai disini saya paham ketika Presiden Jokowi
menandatangani Keppres 28/2024. Salah satunya mengatur bahwa penjualan rokok
dilarang dijual secara eceran.
Sebab jika dijual eceran, cuan yang masuk jelas sedikit
lebih banyak ke pengecernya. Yang paling berbahaya adalah lahirnya generasi
kritis yang berani memprotes Hidden Ambitions yang dimiliki.
Bukankah cucu Jokowi, Jan Ethes juga mulai dibranding lewat
cover buku tulis yang dibagikan Gibran?
Jadi kali ini saya benar-benar menunggu Perpres yang
mengatur bahwa kaum perokok harus menelan asapnya. Perpres itu menjadi cara
untuk transformasi dari KONOHA (Kingdom Of Nepotism, Oligarchy and Hidden
Ambitions) menjadi WAKANDA (Warisan Ayah Kepada Ananda).
Yuk gas pak Jokowi, kita bisa!!!!
Penulis : Edhie Prayitno Ige - bapak satu anak pecinta anggrek gratisan
Post a Comment for "Menanti Kebijakan Perokok Wajib Menelan Asap Rokok"