Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

IKN, Sebuah Cermin Hasil Lomba Makan Kerupuk?



 Ini masih bulan Juli. Tapi lihatlah di sekitar. Sudah banyak kampung-kampung menggelar lomba untuk perayaan kemerdekaan. Harapannya sederhana, nanti mulai Agustus warga bisa berbenah membersihkan dan menata kampung agar lebih manusiawi.


Peringatan kemerdekaan tahun ini, beberapa kampung masih menggelar ritual keramat, lomba makan kerupuk. Entahlah mengapa kerupuk yang dipilih menjadi ikon peringatan kemerdekaan.


Dalam pergaulan kuliner dunia, kerupuk sesungguhnya bukan sekadar penganan pelengkap makan tanpa makna. Jika  dicermati, jarang ada pakar gizi membahas manfaat kerupuk. Jangan-jangan malah cuma sedikit bermanfaat sehingga tak perlu ada pembahasan.


Dalam sebuah perhelatan, kerupuk juga tidak pernah mendapat pembahasan penting. Wacana kerupuk dalam sebuah pesta juga nyaris tak ada. Anehnya, kerupuk memiliki kedudukan amat sentral.


Pesta menjadi bukan pesta jika tak ada kerupuk di antara semua lauk yang tersaji. Stok kerupuk juga menjadi paling banyak dalam sebuah pesta prasmanan.


Mari kita lihat kerupuk lebih jauh.

Penampakan kerupuk sebelum melar menjadi sebesar piring, mentahnya justru kecil sekali. Kerupuk mentah tiba-tiba menjadi sangat agresif memekarkan diri saat jatuh ke wajan berisi minyak panas. Bahkan bukan hanya minyak, tapi juga pasir panas.


Pemelaran yang dramatis itu membawa efek lanjutan. Sebuah efek dramatik di mulut. Keributan suara kriuk di mulut ini menjadi warna tersendiri dalam urusan makan. 

Jadilah kerupuk  meramaikan kedudukan sayur dan nasi. Kerupuk tak segan-segan menipu lidah.


Efek berikutnya mendatangkan kelompok orang menjadi penggemar. Nah bagi penggemarnya, gabungan pedas dan berisiknya kerupuk menjadi duet mematikan. Sesederhana apapun menu makan kita, akan menjadi heboh saat dua pelengkap ini hadir.


Maka, kerupuk kemudian bermetamorfosa menjadi makanan kultural. Keakraban menjadi terbangun karena hadirnya. 

"Kerupuk yang sebetulnya tidak penting, menjadi harus ada. Saat Karena harus ada, jadilah ia penting. Kebiasaan itu turun ke dalam kenyataan."


Dalam lomba makan kerupuk itulah saya malah merenung, betapa banyak mementingkan soal-soal yang tidak penting. Kekacauan terjadi karena hal ini. Orang menjadi tak bisa membedakan hierarki tidak penting, penting, dan mendesak. Pertukaran prioritas di antara ketiganya menjadi tinggi sekali di negeri ini.


Ibu Kota Nusantara berubah menjadi mendesak, jalan tol berubah menjadi penting, sementara menjaga keutuhan hutan, keseimbangan lingkungan menjadi tidak penting.


Hilirisasi industri, investasi menjadi sangat penting. Tentang perintah Undang Undang Dasar yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan rakyat Indonesia menjadi kalah penting.

Itu hanya contoh kecil betapa kekacauan urutan prioritas terjadi, seperti kekacauan saat menggelar pesta tapi tak ada kerupuk.


Banyak hal yang tidak penting tidak cuma diubah menjadi penting, tetapi juga ditingkatkan jadi mendesak. Salah urutan itu telah menjadi kebiasaan.


Orang dirangsang pintar menyusun proposal untuk mencari sumbangan. Ada sebuah tata nilai yang terbalik-balik.


Orang lebih senang mendapat kemewahan secara instan dibanding hal sederhana hasil swadaya.


Tradisi kemudian mendahulukan sensasi. Persis seperti makan kerupuk. Jiwa itu diam-diam ada dalam diri kita sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, sampai negara. Apa jadinya jika seorang pemimpin lebih mendahulukan tepuk tangan dan puja puji sekadar sebagai upaya menghibur diri ketimbang mengembangkan diri?


Dari lomba makan kerupuk, saya menangkap jika kesibukan negara ternyata bukan untuk kepentingan negara tetapi lebih untuk kepentingan politiknya sendiri. 


Fenomena kerupuk yang sensasional seperti mengajak kita untuk melupakan sesuatu: ramai di mulut tapi rendah di gizi.

Sebuah kondisi kehidupan politik dan bernegara pada tahun-tahun politik.


Penulis: Edhie Prayitno Ige


Post a Comment for "IKN, Sebuah Cermin Hasil Lomba Makan Kerupuk?"