Angkringan; Memetakan Perlawanan Anak Muda Pinggiran
Jam digital di ponsel saya menunjukkan angka 22.17. Belum terlalu malam untuk sebuah peradaban. Masih banyak yang beraktivitas di luar.
"Pak, beli susu jahe mau?" Srengenge, anak saya bertanya.
"Gass yuk. Langsung," saya menjawab pendek.
Mengendarai sepeda motor keluaran tahun 2006, kami meluncur. Sudah menempuh beberapa ratus meter, kami belum menemukan tujuan. Angkringan mana yang hendak kami tuju.
Sudah puluhan angkringan kami lewati dan skip begitu saja. Alasannya sederhana, terlalu ramai dan asap rokok sedemikian pekat. Oh ya, anak saya paling tidak bisa berada di lingkungan yang penuh asap rokok.
"Mengapa ya angkringan kok penuh semua? Padahal besok juga bukan hari libur," saya membuka percakapan.
Diskusi berjalan seru. Menurut anak saya, di angkringan masyarakat pinggiran secara egaliter melebur jadi satu. Mau tua, mau muda, mau kaya, mau miskin, semua berbaur tanpa pandang bulu.
"Masyarakat yang tersisihkan itu bisa disebut merayakan kegembiraan dan kesedihan dengan satu cara, nongkrong di angkringan," katanya.
Saya ingat ketika tahun 2005 saat pergi ke Aceh. Provinsi yang baru saja dihantam tsunami dahsyat dan masih banyak perlawanan dari kelompok GAM.
Ketika itu tengah malam saya nongkrong di sebuah warung kopi di Beureun. Dalam sebuah obrolan saya bertemu dengan anggota GAM dan TNI yang nongkrong bareng. Sama-sama ngopi, ngobrol, bahkan saling meminta rokok.
"Gini mas. Anda kan wartawan, tak selalu TNI itu sadis. Kami juga bisa nongkrong seperti ini," kata Pratu M, salah satu prajurit TNI yang bareng saya nongkrong.
Di lain hari, para aktivis GAM yang bertemu saya di tempat yang sama bercerita. Mereka memang bertempur, tapi ketika ngopi, tak ada musuh.
"Ibaratnya kalau mau gencatan senjata, ya bikin aja kesepakatan antar panglima untuk ngopi bareng," kata Mastur, aktivis GAM itu yang ternyata masih kuliah.
Lalu mengapa angkringan selalu ramai?
Dalam perspektif anak saya, saat ini masyarakat sudah sedemikian dicekoki dengan hal-hal yang bersifat industri. Karakter industri yang padat modal, minim pelibatan emosi hubungan antar manusia, menimbulkan perlawanan.
"Dulu memang hanya orang-orang tua atau yang benar-benar tak mampu saja yang menghidupi angkringan. Tapi sekarang nyaris semua kalangan tempat nongkrongnya sama," katanya.
Industrialisasi warung cemilan dalam bentuk cafe bisa dilihat dari pertumbuhan cafe itu sendiri. Beberapa tahun terakhir memang ramai dan sangat menjanjikan. Tapi belakangan para pengelola angkringan juga memoles tampilan lapaknya.
Lalu apa bedanya pengunjung cafe dan angkringan?
"Yang jelas dari sisi level ekonomi pak. Kaum kere seperti kita nggak mungkin beli susu jahe di cafe dengan model take away," kata Srengenge.
Penyebab ramainya angkringan berikutnya bahwa angkringan adalah de facto tempat berkumpul dan berbagi cerita bagi masyarakat perkotaan. Bagaimanapun masyarakat Indonesia senang berkumpul dan berbagi cerita. Ini menjadikan angkringan sebagai default venue untuk menggelar pertemuan.
"Teman-teman kampus kalau mau bertemu, meeting pointnya ada dua. Kalau nggak angkringan ya warung Burjo," tambahnya.
Kesederhanaan itu menjadi cermin bahwa pertemuan, obrolan, silaturahmi adalah hal sederhana. Bandingkan dengan cafe.
Untuk menu saja tak sekaya angkringan, namun nama-namanya lebih memusingkan. Angkringan untuk cemilannya sangat komplit, namun untuk minuman memang sengaja bersikap konservatif untuk mengakomodir kesederhanaan.
Lalu ketika revolusi Perancis diawali dari diskusi tulisan-tulisan Robespierre oleh masyarakat di cafe-cafe. Mungkinkah perubahan politik di Indonesia juga akan diawali dari diskusi publik, mendiskusikan kondisi negara yang makin astaga?
Mengingat betapa egaliternya angkringan yang mampu mengakomodir semua kalangan masyarakat.
Penyebab berikutnya adalah mahalnya hiburan. Bahkan untuk mengakses konten hiburan online, saat ini beberapa platform mulai berbayar.
Angkringan menangkap hal itu dan menyediakan wifi gratis untuk diakses. Meskipun hiburan yang disajikan bukan premium karena hanya bisa untuk mengakses konten gratisan, tapi ini meringankan beban pengunjung yang tak harus keluar biaya ekstra untuk membayar data internet.
Secara umum saat ini Indonesia bisa disebut kekurangan tempat-tempat anak muda untuk berdiskusi, bertemu, membangun jejaring. Tentu yang dimaksud adalah anak-anak muda yang non mahasiswa. Bahkan para mahasiswa sendiri saat ini ruangnya juga sudah dibatasi. Jam berkegiatan di beberapa kampus dibatasi hingga jam 22.00.
"Kondisi ini menjelaskan mengapa angkringan begitu ramai, salah satunya karena memang tidak banyak alternatif lain untuk beraktivitas," kata anak saya yang masuk semester 3.
Angkringan juga banyak yang menjelma menjadi co-working space bagi mereka yang butuh tempat publik untuk bekerja.
Pengunjung angkringan bisa saja duduk-duduk hanya untuk sekadar berbincang, untuk makan, dan ada pula yang datang untuk bekerja. Angkringan menjadi homebase segala aktivitas.
"Yang utama, sejauh mana bisa memanfaatkan tempat ini untuk membawa perubahan jadi lebih humanis dalam bernegara," katanya.
Cafe boleh saja terus tumbuh. Tapi lihatlah, mereka banyak yang mengubah diri dengan kemasan angkringan.
Perjalanan kami sampai kawasan Tlogosari. Ada sebuah angkringan sederhana. Tetap ramai tapi kaum perokok memilih berkumpul di tempat agak jauh dan tak sampai ke gerobak si penjual.
"Susu jahe satu, kopi jahe satu. Tambahnya sate usus dua dan sate gembus satu saja," saya memesan ke penjualnya.
Tak sampai dua menit pesanan selesai. Kami pulang. Tentu sepanjang jalan juga masih ngobrol. Tapi kali ini berbeda topik.
Penulis: Edhie Prayitno Ige, Jurnalis
1 comment for "Angkringan; Memetakan Perlawanan Anak Muda Pinggiran "