Politik, Produsen dan Teroris Sampah Visual
Garistebal.com- Cobalah sesekali berjalan-jalan di kawasan Perumnas Tlogosari Semarang. Kawasan yang punya dua jalan, masing-masing diberlakukan satu arah, yakni Jl Tlogosari Raya I dan Jl Tlogosari Raya II. Sambil berjalan, boleh juga pakai motor Supra bapak, matic atau mobil, nikmatilah pemandangan yang ada.
Apa yang bisa ditangkap?
"Saya nggak bisa perhatikan detail mas, ketutup sama banner, spanduk, dan billboard. Komersial maupun politik," kata salah satu murid saya.
Saya sengaja menantangnya karena ia kini tinggal di Jepang, menjadi jurnalis di NHK.
Tlogosari hanyalah sebuah titik kecil dari luasnya Kota Semarang. Apalagi jika dibandingkan dengan Jawa Tengah atau Indonesia. Makin tak kelihatan jika dilihat dari peta dunia atau globe.
Dalam aplikasi Google Earth lebih parah lagi, karena dilihat dari semesta yang amat luas. Tapi fenomena di Tlogosari itu, nyatanya menjadi fenomena umum, khususnya Indonesia, lebih khusus lagi saat musim pemilu juga pilkada.
Di Tlogosari, lihatlah berapa puluh orang yang berebut lowongan pekerjaan menjadi Wali Kota, Wakil Wali Kota, Gubernur, Wakil Gubernur. Parahnya, ketika pendaftaran sudah ditutup, dan mereka nggak mendaftar, tapi masih saja memampang wajah mereka di poster, banner, billboard, spanduk.
Efek visual atas fenomena itu, semua ruang publik menjelma menjadi ruang privat bagi mereka. Tembok bangunan heritage, komersial, sekolah, rumah sakit bahkan rumah ibadah seakan menjadi galeri terbuka sebagai ruang untuk memasang, menempel-rekatkan iklan luar ruang bersifat komersial maupun politik entah itu partai politik, bendera parpol, calon anggota dewan, calon bupati, walikota, gubernur dan presiden.
Pendudukan ruang publik menjadi ruang privat ini secara naluriah kemudian memancing kerakusan. Para tukang pasang iklan komersial dan reklame politik, kemudian diperintah oleh tuannya memasang iklan barang dan jasa serta reklame politik di tiang telepon, listrik, lampu penerang jalan dan tiang rambu lalu lintas.
Jadilah privatisasi massal oleh politisi terhadap tiap sudut ruang publik, taman kota, trotoar, tembok bangunan jembatan, pohon, tiang telepon, listrik, lampu penerang jalan dan tiang rambu lalu lintas.
Bapak tukang parkir di sebuah warung geprek di jalan Tlogosari I menyebut tidak ada keadilan di ruang publik. Iklan visual luar ruang tertentu, sering ditegur, dicopot, atau ditempeli peringatan belum bayar pajak oleh Badan Pendapatan Daerah. Tapi iklan politik selalu dibiarkan.
"Padahal nggak ada indahnya dan bikin sepet mata," katanya.
Saya tak sempat menanyakan namanya, tapi ia biasa bertugas di seberang Superindo.
Privatisasi ruang publik ini diinisiasi para juragan dagang kemudian mereka mengajak para politisi. Semua atas nama pertumbuhan ekonomi dan untuk kepentingan rakyat. Kalau barang, jasa mereka laku bukankah tandanya ekonomi bertumbuh?
Mereka yang menjadi representasi privatisasi ruang publik itu, saya sebut sebagai penjajah visual. Lihat saja tembok bangunan, ruas jalan, trotoar, taman kota, tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu penerangan jalan, tiang rambu lalu lintas serta, pohon perindang di sepanjang jalan dijadikan tempat gratis untuk memasang, menempel, mengikat dan memakukan iklan komersial dan iklan politik. Inilah kejahatan besar yang merampas hak namun masyarakat abai dan tak merasa menjadi korban kejahatan mereka.
Dalam melancarkan aksinya, para penjajah visual ini bersekutu dengan teroris visual. Secara faktual, sampah visual ini membentuk realitas sosial yang menyedihkan. Kemerdekaan visual milik warga masyarakat tidak dapat dimilikinya secara bebas merdeka sesuai dengan perspektif kemerdekaan visual di ruang publik.
Secara obyektif, wajah ruang publik menjadi bopng oleh jerawat poster, spanduk, umbul-umbul, ronteks, baliho, billboard dan layar LED (Light Emitting Diode).
Yang paling dominan ketika tulisan ini dibuat adalah iklan sedot WC, Badut dan iklan politik. Apakah ini penanda bahwa politik setara dengan isi WC yang harus disedot? Atau setara dengan badut?
Produksi sampah visual ini sangat masif. Bentuknya bisa berupa bendera partai, wajah anggota dewan petahana, wajah calon anggota dewan, wali kota, calon wali kota, calon gubernur bahkan calon presiden yang sudah kadaluarsa juga tak dilepas. Ini adalah arogansi penjajah visual ruang publik.
Warga Tlogosari, juga kita sepertinya sudah dikepung para penjajah ini. Kita tidak bisa bersembunyi dari penetrasi iklan komersial dan propaganda politik.
Parahnya, bahkan gerak masyarakat juga sudah dikendalikan para teroris visual ini. Cakrawala visual, jendela visual masyarakat sudah dibatasi oleh kuasa visual iklan politik dan iklan komersial.
Yang lebih buruk, pemasangan sampah visual ini lebih sering ngawurnya daripada estetis. Tumpang tindih dan pating slawir.
Efek berikutnya adalah terjadinya obesitas pesan komersial dan politik di ruang publik.
Tak ada satupun politisi dan juragan produk komersial yang ingat hak warga. Hak untuk menikmati kemerdekaan visual. Melongok keindahan alam raya beserta peninggalan sejarah nenek moyang secara bebas dan tak terhalangi.
Hari-hari ini iklan politik yang dipasang di ruang publik kian meruyak bagaikan pohon pesan yang sengaja ditanam saling berjejeran. Setiap kali warga masyarakat melangkahkan kaki di ruang publik, secara visual selalu diganggu dengan keberadaan pesan politik.
Relasi kuasa iklan komersial dan iklan politik menambah sumpeg jalanan yang relatif sempit. Ruang publik yang sudah sedemikian semrawut dan penuh polusi udara kini ditambah dengan polusi pandangan yang memendam kekerasan visual.
Selamat datang bencana sosial. Lebay? Nggak juga. Indikator bencana sosial yang paling jelas adalah makin beringasnya warga saat berkendara di jalan raya. Warga gampang tersulut emosinya serta mudah stres manakala berkendara di jalan raya yang dipenuhi dengan serbuan sampah visual iklan politik dan iklan komersial.
Ketidaktertiban visual, kesemrawutan visual dan hadirnya sampah visual iklan politik dan iklan komersial yang memerankan diri sebagai teroris visual di ruang publik adalah gambaran ketidakmampuan pemerintah mengendalikan estetika dan ekologi kota.
Jadi masih mau milih yang banyak poster, baliho, spanduk, stiker? Masih mau milih yang pamer wajah dengan menjajah ruang visual publik?
Saya sih ogah. Pisss!!!
Post a Comment for " Politik, Produsen dan Teroris Sampah Visual"